Takut Menjadi Sarjana
Rafdanu
11.33
Servus!
Menjadi sarjana. Mungkin kita sepakat bahwa menjadi sarjana adalah langkah awal untuk meniti karir. Hakikatnya pembekalan dari sisi keilmuan sudah kita mulai dari jenjang usia dini, hanya saja pada jenjang perguruan tinggilah kita mulai terspesialisasi dalam sub keilmuan tertentu. Dari sini kemudian kita memiliki kesempatan untuk menjadi ahli dalam sebuah bidang.
Terus kenapa takut menjadi sarjana? Padahal ini bisa jadi awal dalam langkah menjajaki dunia karir. Lo gak pengen jadi orang sukses?
Ketakutan gw bukannya tidak beralasan. Gw masih percaya bahwa sesuatu itu terjadi bukan tanpa hikmah. Gw percaya semua terjadi karena ada tujuannya. Dimulai dari di keluarga mana kita dilahirkan. Walaupun merupakan takdir yang gak bisa diubah, tetep aja ada maksud dibalik dipilihnya orang tua kita sebagai wali di dunia. Anak tetangga lo pinter bukan main, sekarang udah kerja. Coba bayangin apakah hidup dia bakal sama kalau berorang tua yang lain? Atau ketika kita ngerasa kekurangan, pertanyaannya adalah apakah kehidupan kita pasti jadi lebih baik kalau kita terlahir dari keluarga yang lain?
Berangkat dr pemikiran diatas, gw percaya ada tujuannya kenapa gw dilahirkan ke dunia. Yang jelas bukan cuma untuk nambah sesak planet ini. Mulai dari di keluarga siapa gw dilahirkan sampai sekarang bisa jadi mahasiswa pasti penuh hikmah. Yang jadi soal adalah kita yang belum tau apa hikmahnya. Ini mutlak. Kita yang kadang gagal ngambil hikmah jadi keburu berpikiran negatif. Banyak yang rejeki orang tuanya lebih banyak dari orang tua gw, tapi mereka gak diarahkan untuk mencari ilmu sampai ke benua seberang. Alhamdulillahnya gw lahir di keluarga yang mendorong gw untuk berkembang dan menuntut ilmu jauh dr tanah air. Itu hikmahnya. Bisa jadi gw lahir di keluarga konglomerat, tp gak diarahin kuliah di Jerman. Intinya, semua yang terjadi ini ada hikmahnya. Muara dari hikmah ini semua adalah bersyukur. Kita gak selalu dapet yang kita mau, tp insya Allah dapet yang terbaik untuk kita.
Kembali ke soal kenapa gw takut jadi sarjana? Ya takut! Karena ada maksud dan tujuan gw dipilih untuk kuliah disini, dan ada pula maksud dan tujuan kenapa gw dikuatkan untuk bisa sampe tingkat akhir. Jangan-jangan kita mikir bisa sampe tingkat akhir hanya karena usaha kita aja. Rajin ngumpulin tugas, selalu dateng kuliah, belajar giat untuk ujian. Gw juga gitu. Pada awalnya. Tapi pernah ga mikir lo makan dari duit siapa? Dan ketika dukungan finansial lo dicabut, apa masih bisa kuliah lo setenang sekarang? Nah, lagi-lagi pasti ada hikmah, kenapa dukungan finansial kita belum dicabut sementara temen kita harus kerja bahkan sampai keluar dari kuliah karena sudah lebih dulu tertimpa masalah finansial. Menurut gw akan sama ketika kita mempertanyakan kenapa bisa masuk universitas A, dan si B masuk universitas yang lain. Semua Ada hikmahnya. Terlebih ada semacam pertanggungjawaban atas semua yang kita dapet.
Kata kuncinya tanggung jawab. Dunia ini gak bakal menuntut kita untuk berbuat sesuatu karena kita dapet nikmat ini dan itu. Jadi sarjana menurut gw adalah nikmat yang luar biasa besar. Berapa persen dari warga negara Indonesia yang bisa atau pernah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi? Maka sebuah amanah besar gw rasa, ketika kita bisa jadi sarjana. Coba pertanyakan kembali , kenapa kita yang dipilih menjadi sarjana?
Gw beranggapan bahwa menjadi sarjana adalah amanah untuk kita. Yang relevan untuk dipertanyakan adalah, Bagaimana ilmu yang kita punya bisa jadi bermanfaat untuk lingkungan kita. Gw ngebayangin gimana kalau misalkan air itu gak mengalir melainkan hanya berdiam di daerah hulunya saja. Apa jadinya kehidupan alam semesta. Bisa kita makan? jelas enggak. Padi bisa tumbuh di tanah yang banyak airnya. Jangan jauh-jauh untuk makan, untuk minum juga susah kalau gak ada air. Poinnya adalah, sesuatu yang mempunyai potensi kebermanfaatan harus ‘dialirkan’. Artinya janganlah kebaikan itu disimpan untuk diri sendiri, tapi coba berbagi untuk lingkungan sekitar. Ilmu yang kita punya adalah aset yang mahal dan berharga, sesuatu yang mempunyai nilai kebermanfaatan luar biasa besar. Akan sangat disayangkan jika ilmu ini hanya berkubang di hulu, di kepala masing-masing individu pemiliknya. Ada sebuah kampung yang berdampingan di dekat perumahan. Di kampung tersebut cuman sedikit yang sarjana, sementara hampir seluruh penghuni perumahan tersebut adalah sarjana. Coba kita perbandingkan nikmat pengetahuan yang kita punya dengan pengetahuan yang mereka punya. Dengan segala hormat, gak ada maksud merendahkan. Yang bikin risih kemudian, apa iya mereka gak punya hak yang sama untuk jadi pintar?
Salah satu cita-cita besar bangsa kita yang sebagian tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Ini Alasan berikutnya kenapa gw takut untuk jadi sarjana. Gw ngerasa punya tanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa ini. Kenapa? alasannya udah dibahas sebelumnya. Pertama dari hikmah kenapa gw yang ditakdirkan untuk bisa mengenyam pendidikan tinggi, kedua dengan melekatnya gelar sarjana maka ‘strata’ kita naik dibanding orang-orang yang gak berkesempatan dapet pendidikan tinggi. Di alam demokrasi seperti sekarang gw rasa masyarakat secara gak langsung terlibat dalam pemerintahan. Maka pola pikir kolot bahwa tugas pemerintahlah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa seharusnya sudah mulai terkikis. Karena kita semua termasuk dalam elemen pemerintah, secara tidak langsung. Yang ngaku pancasilais, sudah memberi sesuatu untuk membantu mencerdaskan kehidupan bangsa?
Sebenernya ini adalah otokritik. Menurut gw terlalu dangkal ketika gw pengen jadi sarjana hanya demi kesempatan di masa depan dalam dunia karir yang lebih baik. Itu salah satu tujuan. Tapi gw mencoba menggambarkan ini dalam sebuah spektrum yang lebih besar. Dampaknya bukan cuman untuk diri sendiri tapi juga lingkungan. Untuk diri sendiri membuat kita bersemangat dalam menebar kebaikan dengan bekal masing-masing dan dalam bidang tertentu, dan jelas lingkungan kita akan merasakan manfaat adanya sarjana. Jadi ketakutan gw adalah, apakah gw udah menjalankan fungsi gw dengan baik ketika akan jadi sarjana dan ketika nanti setelah jadi sarjana.
Kesimpulannya, jadi sarjana menurut gw adalah menjadi seseorang dengan tanggung jawab baru. Tanggung jawab terhadap diri sendiri sebagai orang terdidik maka harus ada perubahan, terhadap orang tua sebagai pembuktian bahwa kita udah siap mengarungi kerasnya dunia, terhadap masyarakat yang menunggu hal positif apa yang bisa kita telurkan untuk kebermanfaatan bersama, terhadap negara untuk kita bergerak ambil andil dalam usaha negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, terhadap agama kita telah melaksanakan kewajiban tugas sebagai hamba Allah untuk mencari ilmu sehingga makin mengakui kebesarannya dan makin besar pula manfaat yang ditebar. Jangan ninggalin sampah dikolong meja!