Kuliah di Jerman Susah?!
Rafdanu
22.03
(Disclaimer: Tidak bermaksud merendahkan atau menyepelekan opini yang berkembang, apalagi merendahkan pelontarnya. Gw cuman pengen nawarin perspektif baru.)
Servus!
Setelah sekian lama vakum karena ketidakonsistenan diri sendiri, akhrinya timbul lagi niat untuk kembali mengisi kolom tulisan di blog ini. Musuh terbesar seseorang yang berkecimpung di dunia cipta karya adalah konsistensi dan niat untuk persisten mengerjakan hal yang relevan untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan di awal. Semoga Semua bisa tetep konsisten dalam hidup masing-masing.
Cukup dulu untuk intermezzo-nya.
Jadi, beberapa saat lalu, sekitar akhir Januari 2019, sempat ramai teman-teman mahasiswa yang berkuliah di Jerman mengunggah Instagram Story yang intinya adalah menyatakan opini bahwa kuliah di Jerman itu sulit. Opini-opini tersebut didukung dengan beberapa "bukti" berupa beberapa buah tangkapan layar dari tulisan seseorang yang dimuat di internet. Gw rasa beberapa akun Instagram temen-temen gw ikut menyuarakan aspirasinya yang terwakilkan oleh tangkapan layar tersebut. Entah siapa yang memulai. Yang gw tahu, hal ini lumayan viral di lingkaran temen-temen mahasiswa di Jerman.
Beberapa hari kemudian, seorang kawan menyatakan opini untuk menanggapi fenomena yang tadi barusan gw ceritain. Kali ini di jejaring sosial Twitter. Poinnya cukup menarik, sehingga gw ikut nimbrung di percakapan dunia maya tersebut. Hal inilah yang mencetuskan ide di kepala gw untuk nulis. Gw gak akan larut membahas percakapan tersebut, karena menyangkut privasi orang lain. Makanya, tulisan ini bakal gw lanjut dengan perspektif gw sendiri tentang opini yang viral tersebut.
Pandangan awal gw tentang opini ini adalah soal kata sifat yang terdapat di kalimat tersebut. Kata sifat "susah". Menurut gw pribadi, suatu ukuran yang diekspresikan menggunakan kata sifat akan terasa sangat relatif, tergantung dari perspektif si pembuat. Maka dari itu, diperlukan sebuah tolok ukur yang baku atau minimal disepakati oleh mayoritas, sehingga mengurangi efek bias. Jika ada yang bilang bahwa kuliah di Jerman itu susah, maka sangat wajar jika pertanyaan pertama yang terlontar adalah tempat kuliah mana selain di Jerman yang pernah dirasakan oleh penulis. Buat gw pribadi, matematika kalkulus itu lumayan menyiksa lahir dan batin, tapi bagi temen-temen peserta olimpiade matematika, persoalan tadi bisa turun tingkat kesulitannya sampai pada level biasa aja. Gak susah susah amat.
Selanjutnya, gw berpikir soal fakta yang ada di lapangan. Gw sama sekali gak merendahkan temen-temen yang merasa kesulitan kuiah, karena gw pun selalu mengalami dan merasakan kesulitan saat kuliah. Cara kita memandang hal tersebutlah yang akan menjadi pembeda hasil akhir dari sebuah proses yang sama-sama dijalani oleh seluruh mahasiswa di Jerman. Gw juga bukan bermaksud untuk menyombongkan diri. Gw cuma ingin menawarkan sudut pandang baru dalam menyikapi fenomena ini. Sebuah fakta yang harus kita akui adalah semua mahasiswa di Jerman menjalani proses perkuliahan dengan modal yang relatif sama.
Modal paling utama agar sesorang mampu belajar dan bersaing adalah kesehatan akal pikiran. Hal yang paling esensial. Kawan-kawan gw yang sekolah di Jerman alhamdulillah sehat secara akal pikiran, gak absen ketika Allah bagi-bagi akal. Kemudian, tanpa mengecilkan temen-temen yang punya keterbatasan, mahasiswa yang pergi belajar ke Jerman dianugrahi panca indra yang (insya Allah) sehat. Kebanyakan yang gw kenal alhamdulillah sehat-sehat dan kuat semua. Dari sini mungkin kita bisa bersepakat, bahwa kita semua memulai proses belajar di Jerman dengan modal yang sama.
Peralatan untuk mencapai tujuan akhir dengan selamat dan sukses menurut gw gak kalah penting. Orang yang sehat akan lebih cepat sampai ke Bandung dari Jakarta, ketika dia mengendarai mobil dari jakarta, daripada berjalan kaki. Analogi simpel ini yang gw pake untuk menjustifikasi pentingnya ketersediaan alat untuk meraih yang kita inginkan. Selama gw berkuliah di Jerman, gw mengamati kawan-kawan sesama mahasiswa, baik itu satu jurusan, maupun yang beda jurusan. Hal ini terbatas di kampus gw, HTW Berlin. Semua mahasiswa, tidak terpaku pada suku, bangsa, agama atau warna kulit, mendapatkan hak yang sama di kampus. Contohnya, soal akses terhadap materi-materi kuliah, yang bisa dinikmati langsung di kelas atau daring, tidak ada perbedaan ketika mahasiswa non-Jerman ingin menggunakan fasilitas kampus, juga tidak ada pula dosen yang melarang mahasiswanya, berdasarkan alasan apapun, untuk datang ke jam konsultasi yang sudah disediakan oleh dosen tersebut. Belum lagi keleluasaan untuk mengakses literatur di perpustakaan, sampai kemudahan (kemurahan) penggunaan software berbayar tertentu untuk kepentingan studi. Sampai sini, mungkin kita bisa kembali bersepakat, bahwa peralatan yang dimiliki semua mahasiswa sama. Sama dalam pengertian fungsi, cakupan dan ketersediaan.
Gw sadar, dan betul-betul sadar, bahwa ada hal-hal lain yang tak terduga dan non-teknis yang bisa menghambat studi seseorang. Bisa jadi persoalan finansial, atau soal keluarga. Soal seperti ini sayangnya gak bisa digeneralisasi. Masalah tiap orang berbeda. Betul. Gw pun sadar hal tersebut. Alhamdulillah, banyak kawan-kawan, yang mungkin punya masalah lebih berat daripada gw, tetep bisa menyelesaikan tanggung jawabnya dengan baik. Tanggung jawab terhadap orang tua yang sudah membiayai supaya anaknya bisa kuliah di Jerman. Setiap orang punya cara masing-masing untuk mencapai tujuannya. Untuk sampai ke Bandung dari Jakarta pun banyak alternatifnya, bisa bermacam-macam tergantung dari strategi, modal dan alat yang dimiliki seseorang.
Akhirnya, gw cuma ingin membedakan yang dibilang susah ini menjadi dua hal, yaitu tantangan dan hambatan. Apapun yang ada di depan mata lo, anggap aja sebuah tantangan. Dalam menghadapi tantangan, perlu dilakukan analisis untuk menentukan strategi, modal dan peralatan yang dibutuhkan agar bisa mencapai tujuan. Yang bikin lo takut atau kesulitan dalam menghadapi tantangan tersebut adalah hambatan. Hambatan itu datangnya dari diri lo sendiri. Menurut gw aneh aja ketika ada yang bilang kuliah di Jerman itu susah, sementara sehari-hari dihabiskan dengan main game tanpa pernah datang ke kampus. Pada kasus yang tadi, penilaian kuliah di Jerman itu susah jadi gak relevan lagi, karena diucapkan oleh seseorang yang lebih sering main daripada dateng ke kampus. Hambatan lebih besar daripada tantangan. Atasi dulu semua hambatan yang ada di diri sendiri sebelum menyelesaikan tantangan di depan mata lo. Ketika lo sukses bangun pagi pas musim dingin dan pergi ke kampus untuk denger kuliah dari dosen, setengah dari tantangan lo udah berhasil ditaklukkan. Setengahnya lagi bisa beres lewat usaha yang keras dan doa.
Semoga tulisan ini bisa menjadi pengingat buat kita semua, bahwa kita mampu menyelesaikan semua tantangan yang ada, jika semua hambatan bisa kita taklukkan. Semua tergantung niat. Kuatkan hati dan teguhkan langkah. Pertanyaannya, apa yang bisa kita lakukan dengan modal dan peralatan yang ada? Silakan dijawab masing-masing. Kalau bisa sebelum semester baru dimulai!
Jangan lupa bayar semesteran!
Sekian.
(Photo by Samuel Zeller on Unsplash)