Senin, 06 Agustus 2018

Mawas Dirilah, cuy!

13.48




Servus!

Kecepatan penyebaran informasi mengalami peningkatan yang signifikan beberapa tahun belakangan. Hal ini ditunjang oleh teknologi yang hampir setiap hari menemani kita, yaitu internet. Membendung informasi agaknya sangat sulit dilakukan, tapi yang bisa kita lakukan adalah menyaring informasi yang kita terima. Memfilter informasi yang akan atau yang kita konsumsi menurut gw sebuah tindakan yang bijaksana. Karena, informasi tersebut sedikit banyak berpengaruh terhadap hidup seseorang, baik langsung maupun tidak langsung. Salah satu cara penyebaran informasi yang paling cepat dan luas adalah melalui media sosial. 

Pengguna media sosial di masyarakat gw rasa semakin banyak. Berbagai macam latar belakang dan usia tumpah ruah di dunia maya. Menurut gw, kesiapan mental seseorang itu penting untuk diperhatikan sebelum orang tersebut masuk dan aktif di dunia maya. Siapapun bisa jadi siapapun. Makdarit, gw sebenernya rada-rada gak aneh ketika banyak yang palsu di dunia maya. Yang dipalsuin bukan jam tangan atau sepatu, tetapi gaya hidup. 

Kita adalah apa yang kita lihat. Mungkin bagus kalau ditambahkan untuk melengkapi istilah yang sudah dikenal sebelumnya, kita adalah yang apa yang kita makan. Gw merasa impak dari penggunaan sosial media sangat kentara di masyarakat. Mungkin dari sini gw akan bikin batasan supaya gak terlalu luas. Yang pengen gw sampaikan adalah soal salah satu media sosial yang sangat digemari belakangan ini, Instagram, dan implikasinya terhadap gaya berpakaian dan gaya hidup.

Gak ada yang salah dengan menggunakan Instagram sebagai salah satu wahana untuk bertukar cerita dan informasi. Dalam proses pertukaran berarti ada sesuatu yang kita dapat dengan memberikan yang kita punya sebagai gantinya. Kita berbagi cerita, maka kita juga akan dapat cerita orang lain. Mengikuti akun orang lain adalah cara kita untuk dapat informasi tentang pemilik akun tersebut. Kita adalah apa yang kita lihat. Kalau mengikuti akun-akun milik artis, lintas bidang baik lokal maupun internasional, gak aneh kalau secara gak sadar ada rasa ingin mengikuti gaya hidupnya atau cara berpakaiannya.

Jarang gw liat ada artis memakai barang yang tidak bermerek. Karena mereka punya duit, bebas aja mau beli dan pakai merek apapun dengan gaya hidup setinggi yang bisa mereka bayangin. Nah, berhubung gak ada penyaringan untuk jadi pengikut sebuah akun milik artis di Instagram, maka demografinya bermacam-macam, dari yang menengah ke bawah sampai menengah ke atas.

Lagi-lagi yang punya duit mah bebas. Menurut gw sah-sah aja kalau ada yang mau mengikuti gaya berpakaian figur idolanya. Kalau memang mampu, silakan aja kan duit juga punya masing-masing. Yang kadang gw sayangkan adalah ketika ada yang sebenernya rada-rada engap untuk mengikuti figurnya, bukan mencari alternatif tapi malah maksain. 

Kuncinya adalah mawas diri. Bersyukur aja terhadap yang udah Allah kasih buat masing-masing individu. Kalau emang gak mampu, gak perlu lah coba-coba. Merek dagang Suprim menjual produk-produknya dengan harga yang kadang bikin merinding sekaligus bingung. Ketika seseorang mawas diri, kemungkinan besar dia akan menahan diri untuk tidak mencoba ikut larut di dalam pusaran tersebut. Bentuk menahan diri paling simpel adalah dengan tidak coba-coba beli barang KW-nya. Yang bagus adalah berusaha supaya emang beneran mampu beli.

Karena harga mahal, udah jelas banget kalau itu barang eksklusif yang mungkin hanya bisa dibeli oleh segelintir orang. Daripada dihakimi yang enggak-enggak, lebih baik menghindari, bukan?

Selanjutnya, jangan larut di dalam standar yang sebenernya gak jelas gunanya apa dan siapa yang bikin. BIkin standar lo sendiri untuk semua hal. Mengikuti zaman gak haram, tapi lebih baik lagi kalau disesuaikan dengan kondisi masing-masing. Kalau ikut larut ke dalam standar yang sebenernya gak bisa kita ikutin, namanya maksa.

Dalam berpakaian yang penting kita merasa nyaman dan sesuai pada tempatnya. Lebih jauh lagi sesuaikan dengan kemampuan kita masing-masing. Mungkin sudah saatnya berkampanye bahwa jangan selalu menilai orang hanya dari penampilan, tapi juga dari pribadinya dan kemampuan yang dimiliki. Penampilan itu penting, tapi bukan segalanya. 

Jangan lupa jemur handuk setelah mandi!

Sekian.

Photo by Aziz Acharki on Unsplash

Kamis, 17 Mei 2018

Hidup Selalu Diremehkan

09.09

Servus!

Pemandangan yang lazim bisa dinikmati di Indonesia selain kekayaan alam adalah potret kemiskinan dari saudara-saudara kita yang kurang mampu. Pembangunan yang super cepat banyak dilakukan di berbagai daerah di Indonesia. Di satu sisi banyak yang sudah bisa merasakan dampak dari pembangunan yang super cepat ini, tapi di sisi lain tidak sedikit juga yang belum bisa betul-betul menikmati pembangunan. Salah satu contoh konkretnya adalah yang bisa menikmati pembangunan jalan tol beribu kilometer adalah hanya orang yang memiliki mobil atau bepergian jauh menggunakan moda transportasi darat selain kereta, seperti bus AKAP atau AKDP. Yang sehari-hari tidak berkepentingan jadi gak bisa menikmati itu semua secara langsung. Dari gambaran di atas nampak bahwa ada semacam ketidakadilan bagi kaum-kaum kecil atau yang termarjinalkan. Hidup mereka seperti nampak remeh. Bisa jadi itu memang bener, bisa jadi itu salah. Tapi gw punya pandangan lain.

Menurut gw, banyak dari kita yang berempati terhadap kehidupan saudara-saudara kita yang kurang mampu. Mungkin ada yang menganggap bahwa hidup mereka diremehkan, baik oleh pejabat ataupun lapisan masyarakat lain yang kondisi ekonomi dan sosialnya lebih beruntung daripada mereka. Apa emang iya seperti itu?

Mungkin dari soal pemerataan kesejahteraan nampak ada semacam ketidakadilan, tapi itu lain soal dan gw gak mau bahas itu. Yang gw amati dan sekarang ingin gw bahas dan diskusikan dengan kalian adalah soal mentalitas mereka. Gw percaya hukum tanam-tuai berlaku di dunia ini. Apa yang kita sebar di hari ini, itu lah yang akan kita tuai di kemudian hari. Menurut gw pasti ada faktor lain yang membuat hidup mereka nampak diremehkan oleh orang lain. Asumsi gw adalah mereka pernah melakukan sesuatu yang pada akhirnya berdampak terhadap cara orang lain memandang dirinya.

Gw pernah sedang berkendara dan sampai lah di sebuah lampu merah. Tujuan adanya lampu merah adalah untuk mengatur lalu lintas supaya tidak terjadi tabrakan antara mobil-mobil yang harus berjalan melintang, belok atau hanya sekedar lurus. Selain itu, untuk memberikan kesempatan pada pejalan kaki supaya bisa menyebrang jalan dengan perasaan aman. Maka, lazim ditemukan ada zebra cross di lampu merah, karena memang diperutukkan bagi pejalan kaki yang ingin menyebrang. Waktu itu lampu warna merah menyala. Tepat di depan mata gw ada sebuah angkot yang melewati zebra cross bahkan cenderung menjorok ke zona yang harusnya bebas kendaraan. Mungkin supaya ketika hijau dia bisa langsung tancap gas dan menjadi yang pertama menjemput penumpang. Kelakuan angkot tadi diikuti oleh banyak pengendara sepeda motor yang menunggu lampu hijau dengan lempeng di zebra cross. Gimana nasib pejalan kaki?

Belum selesai sampe disitu. Banyak pengendara motor yang di jalan raya berkendara seperti orang kesetanan. Nyelip kanan kiri, potong sana potong sini semacam gak tahu aturan dan sopan santun berkendara. Akibatnya ada aja yang nyenggol mobil, atau stang motornya beradu dengan bodi mobil yang sebenernya gak salah apa-apa. Kan itu merugikan. Dan mungkin masih banyak hal-hal semacam ini yang kalian temuin di jalanan. Boleh bagikan pengalaman kalian di kolom komentar :D

Setelah gw pikir-pikir dengan menggabungkan teori hukum tanam-tuai, mungkin perlakuan "diremehkan" yang mereka terima agaknya memang gak mungkin terelakkan. Gimana ceritanya mereka nuntut dihormati dan dihargai sementara dalam hal berkendara banyak hak orang lain yang diserobot. Orang mau nyebrang, eh, kok banyak motor di zebra cross? Bisa jadi pejalan kaki tersebut ngedumel dan akhirnya karena kesel melontarkan ucapan yang kurang baik bagi si pengendara motor di zebra cross tersebut. Contoh lainnya soal angkot. Gimana mereka gak dihina habis-habisan kalau kelakuan mereka di jalan seperti yang gw ceritain diatas. Persepsi itu terbangun karena melihat hal yang serupa terjadi berulang-ulang. Karena sudah sering merasa dirugikan, orang bisa saja kehilangan hormatnya sama sekali terhadap supir angkot dan akhirnya timbul sentimen. "Ah, dasar emang tukang angkot!" semacam bernada kurang sedap, ya? Tapi hal itu sangat mungkin terlontar dari pengendara yang merasa sering dirugikan karena ulah supir angkot. Padahal supir adalah pekerjaan muliah menurut gw, karena dia mengantarkan penumpangnya dan meringankan urusan atau beban orang lain. 

Gw rasa gak fair rasanya kalau ada yang ingin dihormati dan dihargai tapi dalam kesehariannya tidak mencerminkan bahwa orang tersebut menghormati dan menghargai orang lain. Kalau ingin dihargai dan dihormati, maka mulailah dengan menerapkannya di kehidupan sehari-hari. Maka, dengan sendirinya kita bakal dihormati dan dihargai orang lain. Hal-hal kecil yang sepele luput dari perhatian kita malah justru bisa menjadi semacam penyebab hal kurang mengenakkan hati terjadi pada kita. Jadi, mari kita kembali introspeksi diri, apakah kita sudah menghargai dan menghormati orang lain, terlebih bersikap adil dan proporsional terhadap sekitar kita. Yang gw inget adalah kerjakan dulu kewajiban baru tuntut hak! Jangan lupa cabut kabel kalau udah selesai isi ulang telepon selular!

Sekian.


Senin, 07 Mei 2018

#GagalPaham, karena bawa anak ke Bioskop!

10.16



0. Tentang gagal paham

Gagal paham adalah tulisan yang  mengangkat secuil fakta-fakta dari keseharian kita yang ternyata kalau kita kaji dan renungi sifatnya misteri, menyimpang atau tidak pada tempatnya. Dengan tulisan ini Gw mencoba ngajak kalian berpikir bareng tentang fakta lapangan yang luput dari perhatian kita.

Disclaimer : Tulisan gw tidak ditujukan untuk menyalahkan, memojokkan, mendiskreditkan apalagi mencemarkan nama baik dari perseorangan maupun kelompok masyarakat tertentu. Hal-hal yang dibahas disini murni hasil pengamatan penulis yang kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan.

1. Latar Belakang

Belakangan gw mengamati bahwa setiap tahun selalu ada beberapa judul film, baik film Indonesia ataupun luar negeri, yang menyedot perhatian masyarakat. Saking meriahnya euforia kemunculan film tertentu membuat ada orang-orang yang merasa berkewajiban menyambangi bioskop untuk nonton film tersebut. Gw pun menikmati fenomena unik tahunan ini. Tapi, gegap gempitanya seolah menyihir para penonton untuk fokus menikmatinya saja dan abai dengan hal-hal atau peraturan sepele yang sebenarnya penting. Bagaimanapun dan dalam situasi apapun kita harus selalu tetap bertanggung jawab terhadap yang telah, sudah dan akan kita lakukan. Larut dalam hype-nya sesuatu gak lantas membuat aturan itu menguap atau dikesampingkan. Yang masuk dalam pembahasan gw kali ini adalah soal batasan usia untuk penonton sebuah film.

2. Contoh Konkret

Pemantik gw untuk menulis dalam kerangka #GagalPaham kali ini gw dapet ketika menonton film terbaru Avengers di sebuah bioskop di Kota Bogor. Saat itu gw memang sengaja nonton sendirian. Gw pilih tempat yang lumayan di belakang dan tengah (B11). Ketika gw masuk ke studio dan menuju ke tempat duduk, gw melewati seorang ibu. Sambil permisi gw melewati ibu itu dengan hati-hati biar kakinya gak terinjak. Setelah duduk gw baru sadar bahwa sebelah kanan gw persis adalah ANAK-ANAK yang usianya gw taksir blm sampe 10 tahun. Gw diem sejenak dan menghela napas. 

Setelah momen terdiam dan terpaku karena kaget ngeliat ada anak kecil di studio yang filmnya lagi bukan film kartun. Gw langsung refleks googling untuk cari tahu berapa sebenernya batasan usia untuk film Avengers. dan ternyata jawabannya adalah... 13+ !!! Jelas kan klasifikasi penontonnya seperti apa?



3. Tanggapan


Sebuah aturan kalau sudah dikeluarkan menurut gw sudah melalui serangkaian pembahasan multi variabel supaya gak ada yang dirugikan oleh aturan tersebut. Hal ini berlaku juga dalam soal klasifikasi penonton film. Pasti ada yang beda dari segi konten, gambar atau mungkin bahasa pada film yang berkategori 13+ atau 18+. Klasifikasi ini pun pasti ada dasarnya, bukan semacam tang ting tung.

Dan bener aja, di film Avengers ada sekitar 3x adegan ciuman. Seinget gw sih segitu, silakan koreksi kalau gw salah. Adegan ini biasa lah untuk penonton yang udah masuk kategori dewasa dan menurut gw adegan ciuman ini gak terlalu sensual, tapi tetep aja adegan ciuman. Ketika adegan ini muncul, sontak gw langung ngelirik ke si anak dan ibu yang nonton di samping gw. Ohya! anaknya 2 dan yang nomor 2 dan lebih muda dari yang duduk di samping gw. Yang bikin kzl adalah si ibu sama sekali gak bereaksi untuk nutupin mata anaknya selama adegan ini atau ngasih tahu supaya tutup mata atau lakuin apa gitu. Adegan ini kan bukan konsumsi anak kecil. Mungkin ada yang berpikiran "ah, kan dia masih kecil, tenang aja gak bakal ngerti". Bodoh. Menurut gw justru apa yang dimasukkan anak kecil ke otak mereka yang harus mendapat perhatian serius, karena itu akan direkam di memori mereka.

Selain itu banyak kalimat-kalimat percakapan dalam film yang kurang patut dinikimati oleh anak kecil, seperti "kubunuh kau, atau hajar dsb". Bagaimana kalau anak kecil menganggap itu adalah hal keren karena yang mengatakannya adalah Spider-Man berikut aksi yang mengikuti setelah kalimat itu terucap, kebanyakan adegan kekerasan. Ini gak sehat sama sekali.

Faktap momen selanjutnya adalah ketika tiba-tiba ada segerombolan anak-anak kecil yang dipandu oleh beberapa orang tua datang dan duduk di baris depan. Ini bukan soal 5 anak ya, tapi lebih! Suasana hati gw hancur banget tepat sebelum film dimulai karena hal-hal tersebut. Ingin berkata dosa, tapi takut kotor.



4. Saran

   
Contoh yang barusan menurut gw bagus banget dijadikan pelajaran bagi temen-temen yang berencana untuk berkembang biak. Hal bodoh kaya gini semoga gak terulang di keluarga kita nanti. Gw sadar orang tua ingin menyenangkan anak-anaknya, dan kalau pendapat yang bilang nonton bioskop bikin seneng, gw pun setuju. Cuma, ya mbok diperhatikan aturannya gitu loh. Ibarat sebuah produk, anak kecil itu adalah produk yang harus dipersiapkan dengan 0x kesempatan untuk revisi atau update dsb. Sekali lo ngasih tau sampah, selamanya dia akan ingat dan hidup dengan sampah itu. Kasian kan anak-anak yang masih kecil terbebani dengan adegan-adegan yang seharusnya belum mereka ketahui di usianya. Mari kita arahkan dan selalu ingatkan agar menonton sesuai kategori usia. Bersenang-senang itu wajib, tapi harus bertanggung jawab.


5. Kesimpulan


 
Kesimpulannya, topik yang diangkat kali ini adalah masuk kategori tidak pada tempatnya. Tidak ada yang salah dari mengajak anak ke bioskop, kalau film yang ditonton sesuai dengan kategori usia yang sudah ditetapkan lembaga sensor. Hal ini ditujukan untuk kebaikan bersama, gw yakin itu. Apresiasi kepada insan perfilman yang sudah membuat karya-karya terbaik. Jangan lupa buang bekas popcorn di tempat sampah!

Sekian.
Photo by Karen Zhao on Unsplash

Sabtu, 17 Februari 2018

Sistem Ujian di HTW Berlin

20.12



Servus!

Ujian menjadi semacam keniscayaan ketika seseorang menuntut ilmu. Ujian menjadi salah satu tolok ukur kemampuan kognitif siswa yang lazim digunakan. Hasil ujian siswa kemudian digunakan sebagai bahan evaluasi guru terhadap siswa bersangkutan terhadap pelajaran atau mata kuliah tertentu. Konsep ini gw rasa kurang lebih sama diterapkan di mana pun dan level apapun. Yang menarik adalah bagaimana ujian ini dijalankan dan aturan-aturan yang ada dalam sistem tersebut. Kali ini gw mau cerita tentang sistem ujian di kampus tempat gw belajar, HTW Berlin (university of applied sciences Berlin).

Pertama, gw pengen bahas soal sistem penilaian. Yang berlaku di Jerman secara umum adalah predikat terbaik mendapatkan angka 1,0 dan yang terburuk 6,0 dan batas rerata kelulusan 4,0. Terbalik dengan sistem penilaian di Indonesia yang menggunakan angka 4 untuk menerangkan predikat terbaik. Jadi, kalau ada yang cerita ujian di Jerman dapat nilai 4, jangan buru-buru dibikinin tumpeng, karena itu adalah nilai kelulusan minimal. Hehe

Kedua, gw pengen ngomongin soal waktu-waktu ujian yang ada di kampus. Di Kampus gw semesteran dibagi jadi Sommersemester, yang dimulai bulan April sampai Agustus, dan Wintersemester, yang dimulai bulan Oktober sampai dengan Februari. Sayangnya, di sini gak ada UTS kaya kampus-kampus di Indonesia. Akhirnya, kelulusan sebuah mata kuliah hanya ditentukan dengan sekali ujian di akhir semester. Ujian diadakan tiap semester pada minggu terakhir Januari untuk Wintersemester dan akhir Juli untuk Sommersemester. Yang unik adalah adanya dua gelombang berbeda untuk mengikuti ujian, gelombang 1 seperti yang gw sebut sebelumnya dan gelombang dua yang biasanya berselang 1-2 bulan setelah gelombang 1 selesai. Mahasiswa diberi kebebasan untuk mengikuti ujian di salah satu termin tersebut, atau bahkan di keduanya bilamana terpaksa ada pengulangan di mata kuliah tertentu karena tidak lulus. 

Ketiga, gw pengen bahas aturan khas Jerman yang ngeri banget. Ini jadi momok banget sih buat setiap mahasiswa yang kuliah di Jerman. Setiap mata kuliah diberi jatah ujian sebanyak tiga kali percobaan untuk mengulang. Lega banget rasanya kalau bisa langsung lulus di percobaan pertama. Rasa senengnya semacam berhasil menebak tirai yang bener di acara Super deal 2M. Pft. Nah, kalau ada yang terpaksa harus mengulang karena nilai yang diraih gak mencapai batas minimum, maka ada dua percobaan tersisa untuk lulus mata kuliah tersebut. Bagian yang mengerikannya adalah kalau gak lulus percobaan ketiga, maka mahasiswa tersebut harus di drop out, alias dikeluarkan dari kampus. Sedihnya lagi ada konsekuensi tambahan, yaitu gak boleh kuliah lagi kalau di jurusan tersebut ada mata kuliah yang serupa seperti mata kuliah yang membuat dia di DO. Sebagai tambahan, gak ada yang namanya remedial dan semester pendek untuk bantu-bantu supaya lulus. Prinsip sederhananya, kalau lulus yaudah lulus, kalau enggak lulus yaudah ulang lagi sampai percobaannya habis.

Keempat, gw cerita sedikit tentang aturan khusus di kampus gw. Ada namanya Wiederholbarkeitsfrist, intinya batasan waktu untuk lulus sebuah mata kuliah, di mana di poin sebelumnya batasan datang dari jumlah keikutsertaan pada sebuah ujian. Batasan waktu ini lamanya 3 semester, yang berarti dalam waktu 3 semester seorang mahasiswa harus sudah lulus sebuah mata kuliah yang diambil dengan percobaan sebanyak 3 kali. Ketika mahasiswa mendaftarkan diri untuk mengikuti sebuah ujian, maka batasan waktu ini mulai dihitung dan berarti dalam 3 semester harus sudah lulus mata kuliah tersebut. Sebagai contoh, gw ambil mata kuliah matematika 1 dan daftar ujian di semester 1. Ingat ada 2 gelombang dalam 1 semester untuk ikut ujian. Katakanlah gw ikut di gelombang 1 dan berakhir gak lulus. Artinya percobaan gw sisa 2 kali lagi. Gw punya opsi untuk ikut ujian lagi di gelombang 2, tapi kalau gagal lagi maka sisa percobaan tinggal 1. kalau opsi ini gw abaikan, maka pilihan kedua adalah gw tunda sampai semester yang akan datang. Gak masalah, karena percobaan gw sisa 2 dan batasan waktu masih ada sampai semester 3 (dalam 3 semester harus lulus, hitungan dimulai dari semester 1). Di semester depan ternyata gw gak yakin, pengen tunda lagi sampai semester depan. Rada bermasalah, karena gw masuk semester 3 yang berarti batasan waktu bisa mengeluarkan gw dari kampus, tapi perlu diingat gw masih punya 2 percobaan. Katakanlah di semester 3 ini gw baru siap ujian di gelombang 2. Akibatnya, 1 percobaan gw hangus gitu aja karena tiap semester hanya ada 2 gelombang dan gw gak bisa ngulang di semester 4 karena batasan waktu. Fiuh, panjang dan rumit ya. Tapi ya emang begitu adanya. heu

Hikmah yang bisa diambil adalah bahwa universitas tempat gw kuliah punya banyak alasan untuk mendepak mahasiswanya. Di lain sisi, gw punya alesan juga untuk kerja lebih keras supaya terhindar dari tirai yang isinya zonk. Intinya, usaha ditingkatkan sampai maksimal dan biarkan Allah menentukan sisanya. Itulah pentingnya berusaha dan berdoa dalam kesempatan apapun. Jangan lupa daftar ujian!


Sekian.

Photo by Patrick Tomasso on Unsplash

Credit

Logo by : Cup graphic by Madebyoliver from Flaticon is licensed under CC BY 3.0. Made with Logo Maker