Servus!
Pemandangan yang lazim bisa dinikmati di Indonesia selain kekayaan alam adalah potret kemiskinan dari saudara-saudara kita yang kurang mampu. Pembangunan yang super cepat banyak dilakukan di berbagai daerah di Indonesia. Di satu sisi banyak yang sudah bisa merasakan dampak dari pembangunan yang super cepat ini, tapi di sisi lain tidak sedikit juga yang belum bisa betul-betul menikmati pembangunan. Salah satu contoh konkretnya adalah yang bisa menikmati pembangunan jalan tol beribu kilometer adalah hanya orang yang memiliki mobil atau bepergian jauh menggunakan moda transportasi darat selain kereta, seperti bus AKAP atau AKDP. Yang sehari-hari tidak berkepentingan jadi gak bisa menikmati itu semua secara langsung. Dari gambaran di atas nampak bahwa ada semacam ketidakadilan bagi kaum-kaum kecil atau yang termarjinalkan. Hidup mereka seperti nampak remeh. Bisa jadi itu memang bener, bisa jadi itu salah. Tapi gw punya pandangan lain.
Menurut gw, banyak dari kita yang berempati terhadap kehidupan saudara-saudara kita yang kurang mampu. Mungkin ada yang menganggap bahwa hidup mereka diremehkan, baik oleh pejabat ataupun lapisan masyarakat lain yang kondisi ekonomi dan sosialnya lebih beruntung daripada mereka. Apa emang iya seperti itu?
Mungkin dari soal pemerataan kesejahteraan nampak ada semacam ketidakadilan, tapi itu lain soal dan gw gak mau bahas itu. Yang gw amati dan sekarang ingin gw bahas dan diskusikan dengan kalian adalah soal mentalitas mereka. Gw
percaya hukum tanam-tuai berlaku di dunia ini. Apa yang kita sebar di
hari ini, itu lah yang akan kita tuai di kemudian hari. Menurut gw pasti ada faktor lain yang membuat hidup mereka nampak diremehkan oleh orang lain. Asumsi gw adalah mereka pernah melakukan sesuatu yang pada akhirnya berdampak terhadap cara orang lain memandang dirinya.
Gw pernah sedang berkendara dan sampai lah di sebuah lampu merah. Tujuan adanya lampu merah adalah untuk mengatur lalu lintas supaya tidak terjadi tabrakan antara mobil-mobil yang harus berjalan melintang, belok atau hanya sekedar lurus. Selain itu, untuk memberikan kesempatan pada pejalan kaki supaya bisa menyebrang jalan dengan perasaan aman. Maka, lazim ditemukan ada zebra cross di lampu merah, karena memang diperutukkan bagi pejalan kaki yang ingin menyebrang. Waktu itu lampu warna merah menyala. Tepat di depan mata gw ada sebuah angkot yang melewati zebra cross bahkan cenderung menjorok ke zona yang harusnya bebas kendaraan. Mungkin supaya ketika hijau dia bisa langsung tancap gas dan menjadi yang pertama menjemput penumpang. Kelakuan angkot tadi diikuti oleh banyak pengendara sepeda motor yang menunggu lampu hijau dengan lempeng di zebra cross. Gimana nasib pejalan kaki?
Belum selesai sampe disitu. Banyak pengendara motor yang di jalan raya berkendara seperti orang kesetanan. Nyelip kanan kiri, potong sana potong sini semacam gak tahu aturan dan sopan santun berkendara. Akibatnya ada aja yang nyenggol mobil, atau stang motornya beradu dengan bodi mobil yang sebenernya gak salah apa-apa. Kan itu merugikan. Dan mungkin masih banyak hal-hal semacam ini yang kalian temuin di jalanan. Boleh bagikan pengalaman kalian di kolom komentar :D
Setelah gw pikir-pikir dengan menggabungkan teori hukum tanam-tuai, mungkin perlakuan "diremehkan" yang mereka terima agaknya memang gak mungkin terelakkan. Gimana ceritanya mereka nuntut dihormati dan dihargai sementara dalam hal berkendara banyak hak orang lain yang diserobot. Orang mau nyebrang, eh, kok banyak motor di zebra cross? Bisa jadi pejalan kaki tersebut ngedumel dan akhirnya karena kesel melontarkan ucapan yang kurang baik bagi si pengendara motor di zebra cross tersebut. Contoh lainnya soal angkot. Gimana mereka gak dihina habis-habisan kalau kelakuan mereka di jalan seperti yang gw ceritain diatas. Persepsi itu terbangun karena melihat hal yang serupa terjadi berulang-ulang. Karena sudah sering merasa dirugikan, orang bisa saja kehilangan hormatnya sama sekali terhadap supir angkot dan akhirnya timbul sentimen. "Ah, dasar emang tukang angkot!" semacam bernada kurang sedap, ya? Tapi hal itu sangat mungkin terlontar dari pengendara yang merasa sering dirugikan karena ulah supir angkot. Padahal supir adalah pekerjaan muliah menurut gw, karena dia mengantarkan penumpangnya dan meringankan urusan atau beban orang lain.
Gw rasa gak fair rasanya kalau ada yang ingin dihormati dan dihargai tapi dalam kesehariannya tidak mencerminkan bahwa orang tersebut menghormati dan menghargai orang lain. Kalau ingin dihargai dan dihormati, maka mulailah dengan menerapkannya di kehidupan sehari-hari. Maka, dengan sendirinya kita bakal dihormati dan dihargai orang lain. Hal-hal kecil yang sepele luput dari perhatian kita malah justru bisa menjadi semacam penyebab hal kurang mengenakkan hati terjadi pada kita. Jadi, mari kita kembali introspeksi diri, apakah kita sudah menghargai dan menghormati orang lain, terlebih bersikap adil dan proporsional terhadap sekitar kita. Yang gw inget adalah kerjakan dulu kewajiban baru tuntut hak! Jangan lupa cabut kabel kalau udah selesai isi ulang telepon selular!
Sekian.
(Photo by Pedro Gabriel Miziara on Unsplash)
terima kasih artikelnya sangat
BalasHapusmembantu