Rabu, 13 Desember 2017

Halu di Kendaraan Umum

20.57


Servus!

Berkendara menggunakan kendaraan umum jadi hal asing bagi sebagian orang, namun jadi sahabat karib bagi sebagian lain. Banyak faktor yang jadi alasan untuk menghindari transportasi ini, diantaranya kenyamanan dan waktu tempuh yang kadang tidak menentu. Lebih jauh lagi sistem pengelolaan yang bisa dikritisi bersama. Terlepas dari hal-hal tersebut, gw punya cerita unik tersendiri tentang pengalaman menggunakan transportasi publik.

Selama tinggal di Indonesia gw mengingat gak terlalu sering naik kendaraan umum. Alasannya karena emang jarang bepergian, cuma sekolah rumah dan malam minggu di sekitaran kota bogor. Sewaktu SMA alhamdulillah gw dikasih kendaraan motor supra x legendaris. Kota Bogor yang luasnya gak seberapa membuat gw memutuskan lebih sering naik motor sebagai sarana transportasi daripada naik kendaraan umum.

Babak baru kehidupan gw dimulai dengan kepindahan gw ke Berlin untuk melanjutkan studi. Berstatus sebagai mahasiswa di Berlin diuntungkan dengan Semestertiket, tiket untuk naik transportasi publik (Kereta, Subway, Bus dan Tram) 24/7 gratis selama 1 Semester. Pilihan sempurna buat gw yang gak punya banyak dana untuk beli kendaraan pribadi. 

Ada keunikan yang gw rasain selama 5 tahun menjadi pelanggan setia transportasi umum di Berlin. Macam-macam manusia berbagai ras, suku, agama dan bahasa bercampur disitu. Tingkah polah yang jauh berbeda dengan kebiasaan orang Indonesia menjadi seru untuk diamati. Menurut gw, secara psikologis dan sosial ada keuntungan bagi orang yang sering naik transportasi publik.

Pertama, kita menjadi lebih peka terhadap lingkungan sekitar. Melihat orang yang bermacam-macam, termasuk dari segi kemampuan finansial, membuat kita lebih bersyukur dengan kondisi kita sekarang. Kadang rezeki itu gak melulu soal materi, punya kaki yang kuat untuk berdiri adalah sesuatu yang sangat mahal bagi saudara yang harus duduk di atas kursi roda. Jangankan kaki, hidung yang gak tersumbat karena flu aja udah enak banget. Efeknya jadi orang ahli bersyukur dan bisa menurunkan kadar kesombongan karena kelebihan materi yang dipunya. 

Kedua, secara gak sadar berada di jalur fantasi dan inspirasi. Angkat kepala hindarkan mata dari smartphone. Lihat keadaan sekitar. Inspirasi datangnya dari segala penjuru arah bukan? Selain itu kita menjadi punya waktu lebih untuk menyelesaikan pekerjaan atau mungkin bacaan yang udah tertunda lama. 

Ketiga, kemungkinan dapat rezeki. Duduk berdampingan dengan berbagai macam orang dan latar belakang memberikan kita peluang menambah koneksi. Hal yang mungkin menurut kita jarang dan hampir mustahil terjadi. Tapi hampir mustahil belum berarti tidak bisa terjadi. Belum lagi kalau gak sengaja ketemu dengan kawan atau kolega lama yang sudah bertahun gak ketemu. Silaturahim terjalin lagi sehingga tukar pengalaman dan informasi jadi tak terhindarkan.

Itulah secuil cerita unik dari penuh dan sesaknya transportasi umum. Pengelolaan yang profesional dan terpadu menjadi mimpi kita semua, sehingga kecenderungan menggunakan kendaraan pribadi bisa menurun di masa yang akan datang. Mari biasakan untuk sesekali naik transportasi umum, kawan baru sudah menanti! Jangan lupa tap tiket sebelum naik KRL!


Sekian.

Photo by James Best on Unsplash

Kamis, 07 Desember 2017

Perlunya Piknik

10.14
   

Servus!

Piknik sejatinya adalah kegiatan untuk bersenang-senang sambil membawa bekal makanan dan sebagainya. Belakangan piknik dipakai oleh warganet dalam konteks berbeda. Konteks yang sering muncul adalah ketika orang ngomongnya udah mulai ngelantur, biasanya dia disuruh piknik dulu supaya otaknya dapet penyegaran dengan harapan ngomongnya jadi gak ngelantur lagi. Kurang lebih kaya gitu sih yang gw pahamin. CMIIW.

Piknik penting buat orang yang "Fanatik" terhadap sesuatu. Menurut gw. Fanatik adalah sesuatu yang sangat kuat, dalam hal kepercayaan atau kecintaan terhadap sesuatu. Menjadi bahaya ketika seorang yang fanatik kemudian mencela golongan yang lain. Lebih bahaya lagi ketika udah sampai tahap dimana semua yang dihasilkan oleh kelompoknya dianggap mutlak kebenarannya. Wah ini serem menurut gw.

Misalkan, gw suka sama sebuah klub sepak bola. Biasanya sebuah klub sepak bola punya basis fans dan juga rival. Sebutlah sebagai contoh Real Madrid bersaing dengan Barcelona, Persija bersaing dengan Persib dll.  Namanya sebuah perkumpulan pastilah ada pemimpinnya. Andaikata gw fanatik, semua pernyataan yang muncul dari kubu supporter tim favorit gw, gw anggep bener dan sisanya salah. Lebih celaka lagi kalau gw menganggap serta merta yang disampaikan oleh pemimpin itu bener dan gw nurut-nurut aja. Yang seperti ini bahaya, cuy.

Peran piknik disini menjadi penting supaya lo tahu dan bisa melihat kehidupan dari sisi lain. Efeknya bisa memperkaya wawasan dan lebih membuka pikiran lo dalam menyikapi sesuatu. Suka atau menginduk kepada sebuah perkumpulan adalah hal yang wajar, karena sejatinya manusia adalah makhluk sosial yang harus berinteraksi dengan yang lainnya. Yang disayangkan adalah ketika saling mencela hanya karena ada perbedaan antara induk yang menaungi seseorang dengan induk-induk yang lain. Prinsip diri sendiri harus tetap dijunjung dalam koridor masih menghormati prinsip orang lain. Jangan lupa bawa minum kalau pergi piknik!

Sekian.

(Photo by Rob Bye on Unsplash)

Kamis, 30 November 2017

Belajar Dari Ilmu Padi

10.37



Servus!

Orang bijak pernah mengatakan, 

Seperti ilmu padi, makin berisi makin merunduk.

Gw yang udah 20 tahunan lebih hidup di dunia ini masih belum sadar 100% apa makna ujaran bijak tersebut sampai beberapa minggu lalu. Akhirnya gw sadar. Boleh jadi, kita semua sudah tahu apa arti dari kiasan tersebut, cuma menemukan makna sebenernya dan mengkorelasikan ke kehidupan sehari-hari rasanya gak semudah itu. At least, itu berlaku di diri gw sendiri yang butuh 20 tahun lebih untuk menemukan korelasi dari kata bijak tersebut dengan kehidupan sehari-hari. 

Cerita awalnya adalah ketika gw lulus kuliah. Gw nunggu beberapa minggu untuk bisa ambil ijazah gw. Singkat cerita gw udah ambil ijazah di kampus. Dengan penuh rasa syukur dan khidmat gw baca apa yang ditulis di ijazah gw. Kurang lebih isinya menyatakan bahwa gw memenuhi kriteria berdasarkan peraturan ini dan itu sehingga layak diberi gelar akademis blablabla. Bangga? Ya, Alhamdulillah gw bangga campur seneng. Lantas bikin gw jadi sombong? Enggak! gw malah "malu" dan takut, seperti yang pernah gw singgung di tulisan sebelumnya, Takut Menjadi Sarjana.

ketika gw lulus, hal yang gw rasa setelah seneng dan kawan-kawan adalah rasa malu. Karena gw merasa bahwa banyak hal yang gw gak tau justru setelah menyandang gelar akademis setara S-1. Terus gw lulus gak ada ilmunya gitu? Enggak, bukan itu maksud gw. Gw melihat banyak banget hal yang masih harus dipelajari dengan tujuan untuk menjadi ahli di dalam suatu bidang. Ketika lo udah ngerti A, ternyata si A ini udah berkembang dan disempurnakan menjadi B. Dalam kurun waktu yang relatif singkat, si B udah bercabang menjadi C dan D. Kurang lebih seperti itu analoginya. Artinya, ilmu yang gw punya atau yang gw pelajari bersifat dinamis dan selalu berkembang. Gak ada kata cukup. Setiap ada yang baru, belum tentu kita tahu.  

Gw merasa semakin gw belajar, semakin gw merasa bodoh dan kecil. Karena ternyata ilmu itu luas banget, yang parah banget gitu luasnya. Semakan belajar semakin gw sadar bahwa banyak hal yang sebenernya gw gak tahu. Logis sih menurut gw. Kalau seandainya orang belum pernah belajar pertambahan, dia gak bakal tau bahwa ternyata ada pengurangan. Setelah orang bisa mengerjakan soal eksponensial, ternyata masih ada diferensial yang harus dipelajari. Begitu seterusnya. 

Di situ lah gw baru meresapi makna dari Ilmu Padi. Semakin berisi seseorang (berilmu) maka seharusnya dia semakin merunduk. Gelar akademis yang disandang seseorang menandakan orang itu menguasai bidang keilmuan tertentu di level tertentu. Perlu digarisbawahi, di level tertentu. Artinya, masih banyak level-level lain yang belum dia kuasai. Itu juga yang gw rasakan sekarang, malu rasanya karena ternyata masih banyak hal yang belum gw tahu, walaupun sudah lulus. Inilah yang dimaksud dengan semakin merunduk. Karena sebenernya gak ada yang bisa kita sombongkan. Berilmu bukan lantas menjadi sombong. Berilmu seyogyanya membuat kita menjadi bijak dan peka terhadap lingkungan. Mungkin itu cara Allah meninggikan derajat orang yang berilmu, karena kebermanfaatannya bukan panjangnya gelar akademis yang disandang. Jangan lupa bersyukur!

Sekian.

(Photo by Alok Shenoy on Unsplash)

Rabu, 01 November 2017

Orang Luar Biasa

23.15


Servus!

Siapa yang gak kagum dengerin Raisa nyanyi? Siapa yang gak pengen lompat-lompat liat aksi panggung Superman Is Dead? Siapa yang gak pengen hanyut bareng beat-nya Post Malone? Ya, mereka semua adalah orang-orang yang luar biasa. Masih banyak orang-orang luar biasa lainnya yang bisa menarik perhatian kita.

Mungkin kita pernah bermimpi suatu hari tumbuh jadi orang yang luar biasa. Satu dari sekian orang tahu di bidang apa dia ingin menonjol, beberapa yang lain terus mencari bahkan mungkin sampai sekarang. 

Sebagai pengantar gw sebutin musisi-musisi beken dari dalam dan luar negeri. Mereka luar biasa. Karirnya menanjak. Karyanya fenomenal dan terkenal. Mungkin sempat terbersit ingin menjadi seperti mereka, dalam bidang yang sama. Tapi niatan itu urung karena minder kemampuan tidak seperti mereka, bakat musik tak secemerlang mereka. Pola pikir seperti ini yang kerap menjadi rem bagi diri kita untuk mencoba sesuatu. Otak adalah pusat kendali semua yg terjadi di diri kita. Mungkin masalahnya ada di otak kita. Mungkin otak manusia superior dibanding makhluk lain, tapi bukan berarti gak bisa dikibulin.

Arti kata luar biasa Menurut KBBI adalah tidak seperti yang biasa. Pertanyaannya sekarang adalah, kenapa raisa bernyanyi? Karena dia memiliki keterampilan bernyanyi. Punya kemampuan nyanyi dan kemudian dia nyanyi. Itu kan hal biasa. Messi main sepak bola karena dia menguasai teknik bermain sepak bola. Jadi, raisa bernyanyi atau Messi bermain sepak bola adalah hal yang biasa. Terus apa dong yang luar biasa?

Yang luar biasa adalah ketika Messi mencoba menyanyi dan Raisa coba bermain sepak bola. Kita gak bicara soal kualitas ya, tp soal mencoba hal positif yang mungkin lo takut memulai karena keburu minder liat orang lain yang lebih jago. Karena kalo bicara kualitas, jelas Raisa cupu banget kalo disuruh main sepak bola. Ingat arti kata luar biasa? Melakukan hal yang gak biasa atau belum biasa lo lakuin adalah sesuatu yang luar biasa. Raisa bisa nyanyi karena udah biasa nyanyi sama kaya Messi yang udah khatam soal sepak bola. Coba deh pola pikirnya dibalik kaya gini.

Kenapa dibalik? Supaya ada motivasi untuk memulai hal yang baru. Saat mencoba sesuatu yg baru, Kita berasa menjadi orang yang luar biasa, minimal di dalam pikiran kita. You are what you think. Jangan pernah sepelekan kekuatan otak, cuy! Lebih jauh lagi supaya kita gak selalu lantas membandingkan dengan seseorang yang menurut kita menonjol di suatu bidang. Orang tersebut jago di bidang itu karena udah terbiasa ngelakuinnya, bisa lewat latihan intensif atau yang lain. Kasarnya, di awal mah udah pasti cupu. Lakuin aja supaya dari cupu bergeser jadi gak cupu.

Gw sedang menerapkan cara berpikir kaya yang tadi gw ceritain di atas. Dimulai dengan sotoy bikin channel youtube. Terus banting stir jadi penyiar radio dadakan. Gw sendiri gak ada latar belakang sebagai penyiar radio. Keluarga gw gak ada satupun yang jadi penyiar radio. Tapi belakangan gw lagi sibuk sama side-project gw sebagai penyiar pemula yang tak kunjung beken di radio online tanpa kabel. Radio streaming ini namanya thengerhin.com. Dengan motivasi jadi orang luar biasa gw coba aja ngomong seolah gw penyiar radio beneran. Poinnya adalah yang penting gw cobain aja, soal hasilnya gimana itu urusan belakangan. Dengan begitu gw udah jadi orang luar biasa sekarang, karena gw yang gak ada latar belakang sebagai penyiar tapi jadi penyiar di radio streaming indie. Gofar Hilman atau Pandji yang udah bertahun jadi penyiar, ya gak luar biasa lagi karena udah biasa. Gak susah kan jadi orang luar biasa? 


Intinya, lo cobain aja hal positif yang belum pernah lo lakuin. Siapa tau kalo ditekunin bisa jadi hobi berbayar. Jangan keburu pesimis di awal karena lo ngerasa kurang skill. Skill bisa dilatih, cuy. Yang paling penting mulai dulu untuk membiasakan diri melakukan hal baru yang sebelumnya belum pernah lo lakuin. Dengan lo ngelakuin hal itu berulang kali lama-lama bakal terbiasa dan pada akhirnya lo bakal jago juga. Lo gak bakal jadi jago kalo gak pernah memulai. Jadi, cobain dan lakuin aja. Gak usah banyak mikir! Jangan lupa follow Instagram radio gw bersama kawan, @thengerhin_ !

Selasa, 10 Oktober 2017

Kuliah di Luar gak harus pintar!

13.31


Servus!

Jangan kegocek sama judulnya! bukan luar ruangan apalagi luar angkasa, tapi luar negeri. Buat kawan-kawan yang bermimpi melanjutkan studi ke luar negeri, jangan khawatir apalagi minder, karena gak harus pintar!

Ada sedikit cerita tentang latar belakang gw, khususnya kemampuan akademik. Gw lahir dengan kemampuan akademik yang biasa-biasa aja. Kapasitas otak gw sama kaya manusia normal pada umumnya. Jadi gak ada keistimewaan yang gw dapet dari warisan genetika orang tua. Kecuali bonyok gw macem B.J Habibie tuh baru lah boleh bilang gw udah pinter dari orok.

Di SMA gw lumayan sering dispen (izin gak masuk sekolah). Mulai dari organisasi sampai tugas negara. Serius! soalnya gw dulu anggota Paskibraka Kota Bogor. Jadi bisa dibilang abdi negara lah, hehe. Setelah 17 Agustus juga masih suka dipanggil untuk ikut upacara ini dan itu, termasuk pernah juga dapet kesempatan jadi pemandu di acara Istana Bogor Open dalam rangka peringatan hari jadi Kota Bogor. Dan di dalem sekolah pun gw kadang harus dispen untuk kepentingan organisasi. Alhasil, gw jarang di kelas dan belajar juga seadanya.

Singkat cerita sampailah gw di fase Studienkolleg (kelas persiapan bagi orang asing sebelum memulai kuliah) setelah sebelumnya les bahasa intensif selama 6 bulan. Gw merasa malu dan lucu ketika dosen nerangin tentang turunan (diferensial) dan gw merasa asing. Gw sempet nyolek kawan gw yang kebetulan dari Indonesia juga. Gw bilang ke dia kurang lebih nanyain tentang yang lagi dijelasin sama dosen, kok kaya susah banget gitu. Terus kawan gw dengan santainya bilang bahwa materi ini udah pernah diajarkan di SMA. Nah disitu gw langsung kicep dan merasa sampah, 3 tahun di SMA gw gak belajar apa-apa secara bener. Untung banyak main dan organisasi jadi gak rugi-rugi amat. :p

Belum lama ini gw berhasil (akhirnya) menyelesaikan studi gw di HTW Berlin (University of applied sciences Berlin) dengan jurusan teknik otomotif. Gw orang dengan anugrah otak normal dan kemampuan akademik biasa-biasa aja, tapi bisa bertahan sampai akhirnya lulus. Ternyata yang gak kalah penting dari kemampuan akademik adalah mentalitas lo. Apalagi sebagai mahasiswa asing, bahasa menjadi tantangan tersendiri. Tapi gak selamanya bahasa bisa dijadiin kambing hitam atas sesuatu yang menimpa seorang mahasiswa selama dia belajar di luar negeri, khususnya di Jerman. 

Ngomongin soal mentalitas, termasuk didalamnya spirit belajar lo, keteguhan hati dan kegigihan dalam menghadapi semua tantangan. Dengan kemampuan otak yang segini, maka gw harus usaha lebih keras supaya bisa nyamain kawan-kawan lain yang level otaknya mungkin lebih daripada gw. Hitungan simpelnya, kalo orang Jerman asli butuh waktu 3 jam untuk memahami sebuah teori, maka gw harus belajar lebih dari 3 jam untuk paham. Gausah dikeluhkan tapi jalanin aja, karena emang kondisinya kaya gitu. Kalo orang yang basis akademiknya kuat dan pinter butuh waktu 2 minggu untuk persiapin ujian, maka gw bakal mulai dari sebulan sebelumnya untuk mempersiapkan ujian. 

Pada akhirnya, kemampuan otak bukanlah segalanya. Lo gak ngerti matematika, kalo belajar juga pasti bisa pada akhirnya. Lo bisa jalan juga setelah melewati jatuh bangun beberapa kali kan? Masa pas belajar yang lain maunya langsung bisa? kan gak adil. Belajar mengelola hati, manajemen emosi, semangat pantang menyerah dan keberanian adalah hal yang gw pelajari selama proses belajar di sini, disamping ilmu-ilmu yang spesifik di kuliahan. Jadi buat lo yang ada mimpi lanjut kuliah ke luar negeri, hajar aja! tinggal sabar ikutin alur dan proses, insya Allah bisa. Orang Indonesia itu gak ada yang bodoh, cuman kadang malesnya aja yang kadang gak ketulungan sehingga nampak seolah pada bodoh.

Terakhir, jangan salahkan mecin kalo lo ngerasa kurang pinter. Hentikan stigma kalo mecin itu bikin bodoh. Yang bikin lo bodoh itu ya diri lo sendiri karena gak belajar, bukannya mecin! Jadi stop stereotype tentang mecin. Walau begitu, gunakan mecin dengan bijak ya. Jangan makan mecin banyak-banyak, apalagi digadoin!

Sekian.

Jumat, 25 Agustus 2017

Hijrah Dari Mall

11.35

Servus!

Refreshing itu penting. Rutinitas harian bisa berefek rasa bosan dan penat. Butuh sesuatu di akhir pekan untuk mencairkan perasaan-perasaan itu sehingga kembali fit untuk mengawali minggu yang baru. Pilihan refreshing gw rasa tak berbatas. Artinya, banyak kemungkinan yang orang bisa lakuin untuk mencairkan penat dan bosan, termasuk melakukan hobi. Keterbatasan waktu dan biaya seringkali memaksa untuk refreshing yang bertempat disekitar tempat tinggal, disamping banyak variabel lain yang membuat ruang gerak terbatas. Ini menjadi menarik untuk didiskusikan, apa aja yang bisa dilakuin untuk melepas penat dan membunuh bosan?

Yang menarik untuk didiskusikan adalah mode refreshing apa yang bisa ditawarkan di tempat kita tinggal. Banyak variabel yang bisa dipakai sebagai dasar memilih sebuah mode refreshing. Mulai dari biaya, jarak dari tempat tinggal sampai kenyamanan. Setiap orang punya kecenderungan masing-masing dan pasti bermacam-macam. Pertanyaannya kemudian, gimana kalau pilihan refreshing-nya aja gak ada, alih-alih mau menimbang pilihan berdasarkan variabel tertentu?

Hal yang baru gw sadari setelah dapet kesempatan tinggal di Benua seberang. Dulu gw gak merasa ada masalah ketika tiap akhir pekan harus jalan ke mall karena gw gak melihat opsi lain untuk refreshing. Sebagai alternatif mungkin nongkrong sama kawan-kawan di cafe atau restoran. Jadi jangan heran kalau mall terus dibangun di Indonesia. Padahal kalau mau jujur, apa urgensinya bikin mall banyak kalau toh isinya sama semua? Gw Gak menyalahkan, karena namanya juga bisnis, ketika dilihat pasarnya menjanjikan pasti akan terpusat perkembangannya di sektor tersebut.

Lain cerita ketika gw sampai dan tinggal di Berlin. Jumlah mall gak banyak dan kalah megah sama mall-mall yang ada di Jakarta. Soal isi gak usah ditanya, sama aja kaya mall kebanyakan. Isinya cuma kios-kios yang menjual merk terkenal juga yang biasa-biasa aja. Standar. Disitu gw menemukan kejenuhan di tempat yang seharusnya jadi tempat gw membuang kejenuhan.

Disini gw menemukan mode baru untuk melepas penat selain ke mall. Gw berkunjung ke taman-taman kota. Gw baru sadar ternyata jumlah mall dibandingkan dengan jumlah ruang terbuka publik kalah jauh. karena itu, Opsi gw bertambah gak cuma main ke mall tiap akhir pekan. Ternyata seru banget kalau main ke ruang terbuka publik gitu. Bisa ketemu banyak orang baru dan mata seger ngeliat banyak pohon yang hijau-hijau. Dan yang terpenting, kegiatan berlangsung gak di dalam ruangan. Bayangin aja seminggu penuh beraktifitas di dalam ruangan dan ketika harus refreshing malah menghabiskan waktu di dalam ruangan. Jadi kurang greget.

Dan ternyata gw menikmati banget pas berkunjung ke ruang terbuka publik, terutama waktu musim panas. Bisa duduk-duduk doang, nonton atraksi-atraksi sampai ada musisi indie yang unjuk gigi. Semua terjadi di ruang terbuka. Terlebih waktu nungguin matahari terbenam, bahagia dan senengnya berkali lipat. Semoga kedepannya di Indonesia banyak dibuat ruang terbuka publik. Boleh lah sesekali izin mendirikan mall ditolak dan digantikan dengan yang terbuka-terbuka. Yang terbuka Lebih asik, kan?

Jangan lupa password media sosial! 


Sekian.

Photo by Lukasz Saczek on Unsplash

Minggu, 13 Agustus 2017

Memaknai Kemerdekaan

14.48


Servus!

Hidup terjajah jelas mimpi buruk buat semua orang. Denger cerita jaman penjajahan aja rasanya udah ngeri, gimana kalau ngalamin sendiri. Amit-amit ya :/

Bangsa kita dijajah selama 350an tahun lamanya. Bisa lepas dari belenggu penjajah dan menjadi bangsa merdeka adalah sebuah anugerah yang tak terkira nilainya. 

Sejarah mencatat hanya sedikit bangsa yang bisa bertahan sekian lama dibawah pendudukan bangsa barat. Sebagian lainnya bener-bener dimarjinalkan dan menjadi minoritas di tanah leluhurnya sendiri. 

Coba kita tengok suku indian, penghuni asli dataran Amerika. Berapa jumlahnya sekarang? gambar-gambar dari suku indian yang berhasil diabadikan menunjukkan bahwa rupa asli penduduk Amerika gak berperawakan seperti yang kita kenal sekarang.

Selanjutnya ada suku Aborigin, yang tanah leluhurnya gak terpaut jarak yang cukup jauh dari Indonesia. Apa kabarnya hari ini? Penghuni benua Australia nampak bukan seperti leluhur di tanah itu. Orang Aboriginnya ke mana?

Di Indonesia kita lihat ada berapa banyak bambang? Ada berapa banyak nama putra? icha? belum lagi nama macem-macem marga. Nama khas dari Orang Indonesia berdasarkan latar belakang budaya dan sukunya masing-masing. Ini menunjukkan eksistensi kita masih kokoh. Langit Indonesia dijunjung oleh kita, pewaris resmi dari leluhur-leluhur kita. 350 tahun dijajah tapi kita gak bernasib sama dengan yang tadi gw sebutin. Disini kita patut bersyukur dan wajib berbangga. Dalam diri kita mengalir darah pejuang. Darah orang-orang pemberani. Penantang segala bentuk penjajahan.

17 Agustus 1945 sejatinya hanya simbol. Tanggal yang menjadi babak baru perjuangan panjang para pejuang yang mendahului kita. Deklarasi bahwa kita tidak terikat dengan pihak manapun, tapi jelas tidak menegaskan bahwa perjuangan bangsa berhenti sampai disitu. 

Kemerdekaan ini wajar kita rayakan dengan suka cita, dengan harapan tidak melupakan jasa-jasa para pejuang yang telah mendahului kita, yang memerdekakan bangsa ini. Minimal kirim doa untuk mereka yang rela mengorbankan jiwa raga untuk ketentraman hidup kita sekarang. 

Yang wajib diadain yaitu upacara bendera. Prosesi yang buat gw sakral banget, karena dulu pernah tergabung di Paskibraka Kota Bogor. Jadi kesannya beda aja kalo tiap taun liat upacara hari kemerdekaan. 

Nah Cara melakukan selebrasi menyambut hari kemerdekaan menurut gw unik. Yang lazim kita kenal banyak diadakan perlombaan 17-an. Dari level anak-anak hingga dewasa. Sampe ada yang upacara diatas gunung atau dibawah laut.

Diatas itu semua yang terpenting adalah berhasilkah kita memaknai hari kemerdekaan ini. Kemerdekaan itu sesuatu yang sangat mahal. Harus ada hikmah yang bisa kita ambil tatkala kemerdekaan itu kita dapatkan. Jangan terlena di kehidupan yang nyaman ini sehingga gagal mendapatkan esensi dari perayaan itu sendiri.

Gw sendiri memaknai kemerdekaan sebagai momentum untuk merefleksikan diri, udah sejauh mana gw berbuat untuk bangsa gw. Orang bijak pernah berkata, jangan tanyakan apa yang telah negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang telah kau sumbangkan kepada bangsamu. 

Dalam perjuangan merebut kemerdekaan, gw yakin gak semuanya angkat senjata. Banyak yang jadi tentara, tapi banyak juga yang menjadi pendidik, yang jadi dokter, perawat, petani dsb. Usaha untuk merdeka menurut gw adalah gabungan dari berbagai macam elemen masyarakat dan bidang. Dari sini gw berpendapat, pemerintahan hanyalah salah satu instrumen untuk menuju kemerdekaan. Ada banyak hal lain, di bidang lain yang bisa kita kerjakan asal kita semua satu tujuan. 

Inti yang pengen gw share adalah lakuin aja sesuatu, sesuai kemampuan lo di bidang terbaik lo untuk Indonesia. Gausah nunggu jadi pejabat untuk membantu masyarakat. Gausah nunggu jadi S-3 baru bantu kerjain PR adik kita.  Karena perjuangan bangsa ini bukan cuman yang konfrontasi angkat senjata, tapi juga melalui jalur lain yang kadang gak kita cermati.

Sekali merdeka tetap merdeka!

Jangan salah barisan pas upacara!


Sekian. 

Rabu, 09 Agustus 2017

Sekalinya Muncul, Langsung Ngerepotin!

09.58


Servus!

"Ah! Dia mah muncul kalau lagi butuh doang, abis itu juga cabut lagi".

"Pas gw butuh mana dia nongol? dulu pas dia susah gw tuh yang selalu siap bantuin!". 

Sering banget denger atau baca. Bahkan udah kelewat sering sampe bosen dan berujung resah. Gw ngerasa udah familiar banget sama yang barusan.  Mungkin lo semua juga udah sering banget denger kalimat barusan, yang biasanya keluar dari mulut kawan kita yang lagi sensi sama orang yang menurut dia muncul ketika pas ada butuhnya doang, selebihnya ngilang kayak ninja. Bener gak sih? Share di komentar ya kalo pernah punya pengalaman yang sama :D

Kalo kita cermatin nih ya, sebenernya inti dari contoh kecil diatas adalah tolong menolong. Si A minta tolong si B. Si B pada waktu itu siap siaga banget bantuin si A yang butuh pertolongan. Semua berjalan baik-baik aja. Gak ada masalah. Gak ada yang protes. Di lain waktu si A minta tolong lagi sama si B karena dia kebetulan ada masalah lagi. Gw gatau nih, entah emang idupnya si A banyak cobaan atau dianya sendiri yang bawa bala. Idupnya banyak masalah. Gw kurang tau tuh :/ . Sampe di suatu waktu si B sadar, si A kok kayak jarang nongol lagi. Otomatis otaknya nge-recall semua momen yang berhubungan kemunculan si A. Terang aja yang keinget adalah saat dimana si A butuh bantuan, minta tolong ke si B dan si B dengan sigap bantuin si A. Sekarang situasi berbalik, si B butuh bantuan si A, tapi si A udah ngilang gak tau kemana. Inilah awal mulanya.

Si B mulai bete. Dia kesel kenapa pas dulu si A butuh bantuan si B selalu ada. Seolah si B jadi tujuan utama kalo si A kebetulan lagi ada masalah. Pas giliran si B yang butuh si A malah ngilang. Lebih mirip kaya dia tiba-tiba jadi budeg, gak mau dengerin keluhan si B. Mirip lah sama wakil rakyat yang mendadak budeg ketika udah terpilih, gak mau lagi dengerin keluhan rakyat. Asek.

Dulu gw diajarin dalam urusan tolong menolong gak boleh ada kata pamrih. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti kata pamrih adalah 

maksud yang tersembunyi dalam memenuhi keinginan untuk memperoleh keuntungan pribadi

Poin yang ingin ditanamkan dahulu adalah kita harus menolong sesama, yang membutuhkan pertolongan dengan tanpa pamrih. Artinya ya harus ikhlas. Maknanya sama aja kaya gak boleh ngarepin sesuatu sebagai imbalan atas pertolongan yang udah kita kasih kepada orang lain. Sayang, teori gak selalu gampang kalo udah masuk hal penerapan. Yang kadang gw pertanyakan adalah, apakah teorinya yang memang terlalu sulit, atau kita yang sebenernya belum 100% paham teori tersebut? 

Menurut gw, ada sedikit salah paham. Dalam hal ini pemahaman tentang hal menolong, dan dimintain tolong. Buktinya curahan-curahan hati seperti yang gw contohkan di awal. Kalo emang menolong orang lain itu harus ikhlas, kenapa kita sewot ketika seseorang yang dulu pernah kita tolong kemudian berhalangan untuk membantu kita yang sedang butuh pertolongan. Harusnya santai aja dong. Kan gak ngarepin apa-apa.

Yang perlu dipahamin pertama adalah hakikat pertolongan itu sendiri. Gimana sih kok sampe ada orang yang mau bantuin kita. Menurut pendapat gw, semua yang terjadi di dunia ini udah ada yang ngatur. Termasuk dalam hal kapan doa kita dijawab ketika butuh pertolongan. Jawaban doa kita atas semua masalah pun caranya selalu misterius dan datangnya dari arah yang tak terduga. Yang lebih misterius lagi adalah medium untuk menyampaikan pertolongan tersebut. Contohnya, kita lagi butuh uang untuk keperluan pribadi. Cukup mendesak tapi uang yang kita punya gak cukup. Bentuk bantuan yang kita butuhkan pada saat itu adalah berupa uang. Gak mungkin dong pas kita bangun tidur tiba-tiba udah ada uang segepok di bawah bantal. Rada gak logis ya. Tapi bisa jadi ketika lagi jalan ke warung mau beli sabun, tiba-tiba ketemu tetangga blok sebelah, terus ngobrol-ngobrol dan ternyata dia abis menang arisan. Ada uang lebih. Karena waktu kecil suka main bola bareng, akhirnya kawan kecil lo ini minjemin duit sejumlah yang kita butuh untuk nutupin kekurangan. Sebuah kebetulan yang kebetulan banget, tapi masih lebih logis dan lebih mungkin terjadi daripada tiba-tiba nemu uang segepok di bawah bantal pas bangun tidur. Caranya misterius dan mediumnya pun sama. Intinya kita dapet pertolongan tepat di waktu yang tepat. 

Coba sekarang kita liat si kawan kecil ini yang tiba-tiba mau ngasih pinjem. Padahal nongkrong bareng aja udah gak pernah lagi semenjak puber. Orang kaya pun menurut gw masih banyak yang pelit ke orang lain yang sedang membutuhkan, nah ini si kawan kecil yang hartanya gak seberapa tapi kok bisa dengan lapang dada ngasih pinjeman berupa uang. Pasti ada sesuatu nih. Hati manusia itu ada yang membolak-balik. Keikhlasan dan empati itu urusannya hati. Harusnya kalau mau dapetin bantuan, kita harus bisa "menyerang" tepat di hatinya orang tersebut sehingga dia tergerak untuk ngasih bantuan. Tapi gw gak yakin pas kita ketemu sama temen lama gitu terus cerita sampe nangis-nangis, lebay gitu biar dapetin simpati. Di warung lagi. Yakeles. Pasti ngobrol seadanya dengan gesture yang normal. Nah terus kenapa si kawan kecil ini langsung berinisiatif buat bantu? Inilah pertolongan yang datangnya dari arah tak terduga lewat medium yang sama misteriusnya. Menurut lo sebuah kebetulan? Skenario yang terlalu cantik kalo mengingat ini kehidupan nyata, bukan sinetron atau film yang bisa diatur-atur jalan ceritanya supaya cantik. 


Dari ilustrasi di atas pelajaran yang bisa diambil adalah semua yang terjadi di dunia ini lebih dari sekedar kebetulan, tapi udah diatur. Menjadi kebetulan karena keterbatasan nalar dan daya imajinasi kita untuk menerka masa depan. 

Kalau sepakat, bisa kita lanjutin ke poin selanjutnya. Kita udah satu frekuensi bahwa yang terjadi dalam hal tolong menolong gak lebih dr jawaban atas masalah yang kita hadapi melalui medium tertentu. Harusnya kita ngeliat hal ini melebihi si mediumnya. Jangan berhenti di mediumnya. Bukan berarti gak tau terima kasih. Kasih penghargaan setinggi-tingginya untuk orang yang udah bantuin kita, tp jangan kemudian memberi "gelar" berlebihan untuk seseorang karena dia selalu bantuin kita. Kalau itu kejadiannya, ya berarti emang dia aja yang lagi jadi medium turunnya bantuan buat kita. 

Begitupun kalau kita ngebantuin orang lain. Jangan niatnya hanya sebatas bantuin orang itu, tapi liat lebih jauh lagi. Kita bantuin orang karena kita mau melakukan amal shaleh. Kita ngebantu orang karena gw butuh dibantu juga sama orang. Entah sama dia yang pernah kita bantu, atau sama orang lain yang beneran random.  Dan kalau orang minta tolong ke kita, harusnya bersyukur aja ternyata orang lain masih inget sama kita. Kita "dianggep" di hidupnya dia. Kita dikasih kesempatan untuk beramal. Jangan buru-buru menggerutu, ini orang ngilang pas lagi butuh aja nongol. Ya kalau ngeliatnya pake perspektif lama, yang ada lo bakal capek sendiri. Baper mulu. Sewot mulu. Gak capek apa?

Kalau kita ngeliat hal tolong menolong dengan perspektif yang barusan gw tawarin, insya Allah hidup lo jadi lebih ringan, karena gausah mikirin dan baper karena orang yang menurut kita gatau bales budi. Simpel aja. Kalau lo dimintain tolong, berarti lo lagi ditunjuk jadi medium. Kalo lo ditolong sama seseorang, berarti orang itu lagi jadi medium datengnya pertolongan. 

Semoga perspektif baru dari gw memperkaya sudut pandang kita dalam menyikapi sesuatu. Boleh share pengalaman atau pendapatnya kalau ada :)

Jangan lupa bayar pas abis turun angkot!

Sekian.

credit: Photo by Annie Spratt on Unsplash

Selasa, 01 Agustus 2017

Kenyamanan Berbatas

07.55


Servus!

Persepsi yang terbentuk di dalam Negeri terhadap teman-teman diaspora yang sedang menimba ilmu di luar negeri biasanya adalah hidupnya enak dan hura-hura. Mindset yang terlanjur terbentuk tentang kehidupan di luar negeri lebih nyaman dan lain sebagainya dibandingkan di dalam negeri. Sayangnya, kenyataan acap kali sejalan dan emang benar adanya di luar negeri lebih nyaman. Tapi itu relatif. Sebenernya. Gak semua negara selain indonesia enak untuk ditinggali. Tapi pada hal tertentu memang perlu diakui indonesia tertinggal dibandingkan beberapa negara berkembang lain. 

Tinggal di Berlin, Jerman buat gw adalah sebuah nikmat yang tak terkira. Alhamdulillah. Gw gak bakal sok-sok ngaku hidup seneng terus, hura-hura dan selalu bahagia. Pun gw gak pengen mencitrakan hidup disini isinya sedih dan susah mulu. Tinggal dimana pun pasti bakal ada tantangannya toh?

Sebagai mahasiswa, tinggal di Berlin rasanya kehidupan udah komplit gitu. Gw punya alasan kenapa bisa kasih pernyataan barusan. 

Pertama, lo punya kesempatan dapet 1st grade education di universitas-universitas yang ada di Berlin. Dari ilmu pasti sampe yang gak pasti-pasti amat bisa lo dapetin disini. 

Kedua, biaya hidup yang relatif gak terlalu mahal. Harga sewa tempat tinggal sih gw bilang bervariasi dan harganya dibandingkan dengan kota-kota lain di jerman bersaing. Salah satu faktor penentu biaya hidup mahal atau enggak adalah frekuensi lo jajan atau beli makan di luar. Nah harga makanan di Berlin boleh gw bilang relatif lebih murah dibandingkan kota-kota lain di Jerman. 

Ketiga, banyak hiburan. Berbagai macam hobby dan minat orang-orang gw rasa bisa disalurkan disini. Yang suka olahraga punya media untuk menyalurkan hobby dan minatnya. Yang suka kuliner, udah gw sebut tadi harganya relatif murah dan variasi makanannya menurut gw ok punya. Yang suka fotografi, berlin terlalu urban buat lo lewatkan. Yang doyan dugem pun, gw rasa gabakal nyesel kalo tinggal di Berlin.

Keempat, sebagai orang Indonesia kita punya wadah untuk berserikat dan berkumpul untuk menyampaikan aspirasi. Halah. Ada PPI, ada ormas-ormas, ada perkumpulan keagamaan. Komunitas yang mengakomodir minat temen-temen mahasiswa juga gak sedikit. Menurut gw lengkap lah. 

Dari semua poin diatas, kesimpulan sementara yang bisa diambil adalah hidup di Berlin sebagai mahasiwa boleh dikatakan nyaman. Tapi namanya hidup selalu ada dua sisi berbeda yang sama-sama harus dihadapi konsekuensinya. 

Kenyamanan yang ditawarkan di Berlin itu berbatas. Untuk orang asing yang tinggal di Berlin diberlakukan sistem pemberian izin tinggal yang terbatas. Izin tinggal ini didapat jika lo punya alasan yang bisa meyakinkan pihak pemberi izin. Terdaftar di sebuah institusi pendidikan merupakan salah satu alasan meyakinkan untuk dapet izin tinggal.

Izin ini tak selamanya berlaku. Dalam sebuah interval waktu kita akan merasa nyaman dalam beraktivitas. Menjelang izin itu habis, kenyamanan tadi berubah seketika. Bagi yang beralasan tinggal di Berlin karena kuliah, maka kuliah lo akan terus dipantau sama pihak imigrasi dengan cara mempertanggungjawabkan pencapaian kuliah lo melalui bukti tertulis berapa sks yang udah dicapai. Masalah kembali muncul ketika jumlah capaian sks yang kita punya gak sesuai dengan ekspektasi pihak imigrasi. Tentu sebagai student punya hak untuk berargumen untuk menjelaskan perihal tersebut. Tapi kembali lagi, kewenangan memberikan izin tinggal sepenuhnya digenggam oleh pihak imigrasi. Kalau argumen kita dinilai gak masuk akal, yaudah bakal jadi repot. Mending banyak berdoa aja sama latian lagi supaya lebih jago ngeles kalo ditanya sama pihak imigrasi. 

Inilah yang gw maksud sebagai rasa nyaman yang berbatas. Ada yang harus kita bayar untuk dapat kenyamanan ini. Hikmah yang bisa gw petik adalah hidup ini memang sejatinya perjuangan. Kita harus selalu memunculkan sebab-sebab terjadinya akibat yang kita inginkan. Disini panggungnya hukum sebab-akibat. Motivasi utama untuk senantiasa berusaha adalah memunculkan sebab pertolongan dari Allah. Makanya rumus untuk sukses tidak hanya sekedar berusaha, bukan juga hanya sekedar berdoa, tapi berusaha dan berdoa. 

Selanjutnya, soal visa atau izin tinggal ini menjadi pelecut semangat untuk terus berusaha dan belajar. Waktu satu atau dua tahun terasa lama. Untuk bermain dan bersenang-senang memang cukup lama. Tapi untuk mengejar jumlah sks yang ditargetkan oleh pihak imigrasi rasanya selalu aja kurang. Selain memeras otak, mengatur strategi belajar dan membagi waktu pun akhirnya menjadi kunci untuk survive. Efek berada di bawah tekanan membuat kita menjadi lebih waspada. Butuh keberanian untuk menghadapinya. Terlebih untuk terus menerus berada dibawahnya. Dari sini gw mendapat banyak pelajaran. Pelajaran mahal yang gasemua bisa ngalamin dan bisa lewatin. Dan gw bersyukur karena punya kesempatan itu.

Akhirnya, gw berdoa semoga kenyamanan gw belum menemui ujungnya untuk saat ini, karena masih banyak yang harus gw selesaikan disini, di tanah rantau. Untuk temen-temen seperjuangan, semoga kalian semua dilancarkan urusannya. Tetep semangat dan berusaha. Jangan lupa tutup pintu kulkas!


Sekian.

Photo by Felix Plakolb on Unsplash

Kamis, 20 Juli 2017

Takut Menjadi Sarjana

11.33

    

Servus!

Menjadi sarjana. Mungkin kita sepakat bahwa menjadi sarjana adalah langkah awal untuk meniti karir. Hakikatnya pembekalan dari sisi keilmuan sudah kita mulai dari jenjang usia dini, hanya saja pada jenjang perguruan tinggilah kita mulai terspesialisasi dalam sub keilmuan tertentu. Dari sini kemudian kita memiliki kesempatan untuk menjadi ahli dalam sebuah bidang.

Terus kenapa takut menjadi sarjana? Padahal ini bisa jadi awal dalam langkah menjajaki dunia karir. Lo gak pengen jadi orang sukses?

Ketakutan gw bukannya tidak beralasan. Gw masih percaya bahwa sesuatu itu terjadi bukan tanpa hikmah. Gw percaya semua terjadi karena ada tujuannya. Dimulai dari di keluarga mana kita dilahirkan. Walaupun merupakan takdir yang gak bisa diubah, tetep aja ada maksud dibalik dipilihnya orang tua kita sebagai wali di dunia. Anak tetangga lo pinter bukan main, sekarang udah kerja. Coba bayangin apakah hidup dia bakal sama kalau berorang tua yang lain? Atau ketika kita ngerasa kekurangan, pertanyaannya adalah apakah kehidupan kita pasti jadi lebih baik kalau kita terlahir dari keluarga yang lain?

Berangkat dr pemikiran diatas, gw percaya ada tujuannya kenapa gw dilahirkan ke dunia. Yang jelas bukan cuma untuk nambah sesak planet ini. Mulai dari di keluarga siapa gw dilahirkan sampai sekarang bisa jadi mahasiswa pasti penuh hikmah. Yang jadi soal adalah kita yang belum tau apa hikmahnya. Ini mutlak. Kita yang kadang gagal ngambil hikmah jadi keburu berpikiran negatif. Banyak yang rejeki orang tuanya lebih banyak dari orang tua gw, tapi mereka gak diarahkan untuk mencari ilmu sampai ke benua seberang. Alhamdulillahnya gw lahir di keluarga yang mendorong gw untuk berkembang dan menuntut ilmu jauh dr tanah air. Itu hikmahnya. Bisa jadi gw lahir di keluarga konglomerat, tp gak diarahin kuliah di Jerman. Intinya, semua yang terjadi ini ada hikmahnya. Muara dari hikmah ini semua adalah bersyukur. Kita gak selalu dapet yang kita mau, tp insya Allah dapet yang terbaik untuk kita.

Kembali ke soal kenapa gw takut jadi sarjana? Ya takut! Karena ada maksud dan tujuan gw dipilih untuk kuliah disini, dan ada pula maksud dan tujuan kenapa gw dikuatkan untuk bisa sampe tingkat akhir. Jangan-jangan kita mikir bisa sampe tingkat akhir hanya karena usaha kita aja. Rajin ngumpulin tugas, selalu dateng kuliah, belajar giat untuk ujian. Gw juga gitu. Pada awalnya. Tapi pernah ga mikir lo makan dari duit siapa? Dan ketika dukungan finansial lo dicabut, apa masih bisa kuliah lo setenang sekarang? Nah, lagi-lagi pasti ada hikmah, kenapa dukungan finansial kita belum dicabut sementara temen kita harus kerja bahkan sampai keluar dari kuliah karena sudah lebih dulu tertimpa masalah finansial. Menurut gw akan sama ketika kita mempertanyakan kenapa bisa masuk universitas A, dan si B masuk universitas yang lain. Semua Ada hikmahnya. Terlebih ada semacam pertanggungjawaban atas semua yang kita dapet.

Kata kuncinya tanggung jawab. Dunia ini gak bakal menuntut kita untuk berbuat sesuatu karena kita dapet nikmat ini dan itu. Jadi sarjana menurut gw adalah nikmat yang luar biasa besar. Berapa persen dari warga negara Indonesia yang bisa atau pernah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi? Maka sebuah amanah besar gw rasa, ketika kita bisa jadi sarjana. Coba pertanyakan kembali , kenapa kita yang dipilih menjadi sarjana? 

Gw beranggapan bahwa menjadi sarjana adalah amanah untuk kita. Yang relevan untuk dipertanyakan adalah, Bagaimana ilmu yang kita punya bisa jadi bermanfaat untuk lingkungan kita. Gw ngebayangin gimana kalau misalkan air itu gak mengalir melainkan hanya berdiam di daerah hulunya saja. Apa jadinya kehidupan alam semesta. Bisa kita makan? jelas enggak. Padi bisa tumbuh di tanah yang banyak airnya. Jangan jauh-jauh untuk makan, untuk minum juga susah kalau gak ada air. Poinnya adalah, sesuatu yang mempunyai potensi kebermanfaatan harus ‘dialirkan’. Artinya janganlah kebaikan itu disimpan untuk diri sendiri, tapi coba berbagi untuk lingkungan sekitar. Ilmu yang kita punya adalah aset yang mahal dan berharga, sesuatu yang mempunyai nilai kebermanfaatan luar biasa besar. Akan sangat disayangkan jika ilmu ini hanya berkubang di hulu, di kepala masing-masing individu pemiliknya. Ada sebuah kampung yang berdampingan di dekat perumahan. Di kampung tersebut cuman sedikit yang sarjana, sementara hampir seluruh penghuni perumahan tersebut adalah sarjana. Coba kita perbandingkan nikmat pengetahuan yang kita punya dengan pengetahuan yang mereka punya. Dengan segala hormat, gak ada maksud merendahkan. Yang bikin risih kemudian, apa iya mereka gak punya hak yang sama untuk jadi pintar? 

Salah satu cita-cita besar bangsa kita yang sebagian tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”.  Ini Alasan berikutnya kenapa gw takut untuk jadi sarjana. Gw ngerasa punya tanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa ini. Kenapa? alasannya udah dibahas sebelumnya. Pertama dari hikmah kenapa gw yang ditakdirkan untuk bisa mengenyam pendidikan tinggi, kedua dengan melekatnya gelar sarjana maka  ‘strata’ kita naik dibanding orang-orang yang gak berkesempatan dapet pendidikan tinggi. Di alam demokrasi seperti sekarang gw rasa masyarakat secara gak langsung terlibat dalam pemerintahan. Maka pola pikir kolot bahwa tugas pemerintahlah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa seharusnya sudah mulai terkikis. Karena kita semua termasuk dalam elemen pemerintah, secara tidak langsung. Yang ngaku pancasilais, sudah memberi sesuatu untuk membantu mencerdaskan kehidupan bangsa?


Sebenernya ini adalah otokritik. Menurut gw terlalu dangkal ketika gw pengen jadi sarjana hanya demi kesempatan di masa depan dalam dunia karir yang lebih baik. Itu salah satu tujuan. Tapi gw mencoba menggambarkan ini dalam sebuah spektrum yang lebih besar. Dampaknya bukan cuman untuk diri sendiri tapi juga lingkungan. Untuk diri sendiri membuat kita bersemangat dalam menebar kebaikan dengan bekal masing-masing dan dalam bidang tertentu, dan jelas lingkungan kita akan merasakan manfaat adanya sarjana. Jadi ketakutan gw adalah, apakah gw udah menjalankan fungsi gw dengan baik ketika akan jadi sarjana dan ketika nanti setelah jadi sarjana.

Kesimpulannya, jadi sarjana menurut gw adalah menjadi seseorang dengan tanggung jawab baru. Tanggung jawab terhadap diri sendiri sebagai orang terdidik maka harus ada perubahan, terhadap orang tua sebagai pembuktian bahwa kita udah siap mengarungi kerasnya dunia, terhadap masyarakat yang menunggu hal positif apa yang bisa kita telurkan untuk kebermanfaatan bersama, terhadap negara untuk kita bergerak ambil andil dalam usaha negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, terhadap agama kita telah melaksanakan kewajiban tugas sebagai hamba Allah untuk mencari ilmu sehingga makin mengakui kebesarannya dan makin besar pula manfaat yang ditebar. Jangan ninggalin sampah dikolong meja!

Sekian.

[(Credit: Photo by Endup lepcha on Unsplash)]

Credit

Logo by : Cup graphic by Madebyoliver from Flaticon is licensed under CC BY 3.0. Made with Logo Maker