Minggu, 26 Januari 2020

Semua berhak (tapi gak wajib) untuk berkomentar!

13.39

(Disclaimer: Tidak bermaksud merendahkan seseorang atau golongan. Tidak juga menyepelekan suatu opini, apalagi merendahkan pelontarnya. Gw cuman pengen nawarin perspektif baru.)


Servus!

Kemajuan teknologi menciptakan sebuah era baru, yaitu era keterbukaan yang gak mengenal batas. Konsep ini luas dikenal dengan nama globalisasi. Dengan hilangnya batas berubah pula model komunikasi zaman sekarang. Semudah membalikkan telapak tangan, semudah itu pula kita membagikan isi kepala kita ke seluruh dunia melalui berbagai macam bentuk dan media. Setelah kita memiliki bahasa internasional, sekarang kita memiliki alat komunikasi internasional.

Reformasi tahun 1998 menghasilkan sebuah alam baru di Indonesia, yaitu alam bebas berbicara. Kebebasan berbicara ini bisa ditafsirkan menjadi bermacam-macam. Walaupun ada banyak tafsir, ada suatu hal yang pasti di mana kita bisa sepakat di situ, yaitu kita bebas berpendapat atau berkomentar tentang semua hal. Sekarang tidak harus menjadi orang hebat dulu untuk berkomentar dan didengar orang banyak. Keterbatasan media zaman dulu membuat ada juga semacam "pembatas" yang membatasi dan menyeleksi siapa-siapa yang bisa berpendapat dan kemudian disebarkan secara luas. Dulu belum ada internet, maka butuh radio atau mungkin media cetak untuk menyebarluaskan ide dan gak semua orang bisa berkomentar di media cetak atau di radio. Yang terkenal atau mempunyai pengaruh lebih cenderung punya kemudahan untuk diundang. Sekarang hanya butuh sebuah ponsel dan quota internet, tulisan lo atau karya lo bisa dibaca oleh seseorang di antah berantah di tengah gurun Texas, Amerika Serikat.

Hal yang pasti udah kita punya dari dulu, bahkan sebelum adanya kemajuan teknologi seperti sekarang, adalah hak untuk berbicara. Beruntunglah hak ini, secara teori, tidak mengenal batasan apapun, bahkan sampai ke lapisan paling sensitif, misalkan bangsa, ras, agama, gender suku, dan budaya. Simpelnya, setiap kepala yang lahir ke dunia ini, dia sudah dianugerahi hak untuk berbicara (berpendapat, berkomentar). Namun, harus kita sadari bahwa seseorang yang berhak melakukan sebuah tindakan gak berarti otomatis menjadi berkewajiban untuk melakukan kegiatan tersebut, dalam konteks ini adalah berkomentar atau berpendapat. 

Contohnya: Ada seorang pesohor tanah air sedang ditimpa masalah dalam rumah tangganya. Karena media memberitakannya tanpa henti, akhirnya jadilah permasalahan ini, yang seharusnya privat, booming dan dikonsumsi semua khalayak. Kalau berita tersebut nyampe kepada kita, sedikit banyak ada unek-unek yang muncul di kepala, karena kita adalah makhluk berakal dan sudah kenyang perutnya. Tindakan yang muncul selanjutnya adalah yang krusial. Di kolom komentar, di mana berita itu naik, hampir pasti ada warganet kelebihan duit dan waktu yang berkomentar. Perlu dicatat, mereka berhak untuk komentar! Yang menurut gw menjadi masalah adalah ketika seseorang tersebut merasa pengen banget seperti berasa punya kewajiban untuk berkomentar. Menurut gw bisa jadi masalah, karena ada banyak kasus-kasus lain yang bisa jadi makin panas bersumber dari komentar-komentar orang, hanya karena ada segelintir yang merasa "wajib" untuk komentar. Kasus rumah tangga mah hanya satu dari macam-macam kasus lain yang mungkin lebih sensitif dan ngeri-ngeri sedap.

Yang lebih unik adalah golongan seleb, entah itu -ritas, -gram, atau -twit. Gw memiliki kesan bahwa ada sebagian yang merasa punya kewajiban untuk komentar atas segala sesuatu yang lagi terjadi atau viral. Sekali lagi, mereka dan kita semua berhak untuk komentar. Apakah berhak berarti berkewajiban? Jangan mentang-mentang berhak kemudian lupa bahwa hak itu sifatnya bisa digunakan atau enggak. Apalagi hanya karena follower-nya banyak lantas merasa wajib untuk berkomentar. Gak wajib, gengs! Poin gw adalah menggunakan hak ini untuk hal-hal yang baik dan menggunakannya dengan bijak. Oh, ini udah 2020, ya?! Ada yang gw kelupaan.

Era post-modern kaya sekarang mah semua dibuat relatif, relatif terhadap interpretasi masing-masing. Syukur kalau diterima beberapa orang lain akan menjadi konsensus komunal. Maka tadi ketika gw bilang gunakan hak ini untuk yang baik, ukurannya pun jadi random dan bias. Silakan rumuskan sendiri standar apa yang mau dipake, termasuk standar ketika kalian berkomentar. Sila analisa sendiri apakah kalian sedang menggunakan hak dengan bijak, atau asal komentar aja karena gw berhak (dan secara ga sadar ngerasa punya kewajiban).  Jadi, marilah kita menggunakan hak dan kebebasan berpendapat ini dengan bijak. Marilah saling bertenggang rasa dan berempati kepada sesama penghuni dunia nyata dan juga dunia maya.

Jangan lupa jemur anduk kalau abis mandi!

Sekian.


Kamis, 09 Januari 2020

Gotong Royong Überall

06.00

(Disclaimer: Tidak bermaksud merendahkan seseorang atau golongan. Tidak juga menyepelekan suatu opini, apalagi merendahkan pelontarnya. Gw cuman pengen nawarin perspektif baru.)

Servus!


Gak kerasa gw udah menjalani kehidupan berumah tangga hampir setengah tahun. Ya, memang masih tergolong muda. Walau begitu gw udah banyak mendapatkan pelajaran tentang fase baru ini yang menjadi bagian dari perjalanan hidup gw. Kali ini gw mau berbagi  yang sedikit ini dalam menjalani rumah tangga. Kalau menginspirasi ya alhamdulillah, kalau enggak ya gak papa. Toh, gw cuman pengen cerita doang. Omong-omong, terima kasih ya sudah berkenan membaca cerita gw :)

Ini murni opini pribadi gw. Stereotipe atau paradigma yang berkembang di masyarakat, khususnya Indonesia, adalah istri bertugas mengurusi rumah dan suami yang bekerja. Karena suami sudah bekerja, beban pekerjaan rumah tangga diberikan seluruhnya kepada istri. Acap kali gw berpikir, kasihan juga perempuan. Dalam rumah tangga perannya tak ubah seperti asisten rumah tangga. Sebelum dilanjutkan, perlu digaris bawahi bahwa menjadi ibu rumah tangga bagi gw adalah hal yang luar biasa. Yang gw angkat adalah tema soal pembagian pekerjaan rumah tangga, bukan menyoal status ibu rumah tangga. Kalau lo gak setuju, silakan komentar di bawah. Siapa tau jadi bisa bertukar ide :)

Memang, konsep ideal dalam berumah tangga adalah gotong royong. Hanya saja konsep ini bisa diterjemahkan ke dalam berbagai macam bentuk pembagian tugas dalam rumah tangga. Gw selama enam bulan ini latihan untuk mengejawantahkan konsep gotong royong tersebut. Simpelnya adalah gw mengambil alih suatu pekerjaan rumah ketika istri gw sedang berhalangan untuk mengerjakannya, begitupun sebaliknya. Jadi, dalam konsep kami berumah tangga gak ada istilah, "ini kerjaan istri, gw gamau ikut campur". Mottonya adalah yang bisa gw kerjain akan gw kerjain. Alhamdulillah, motto tersebut sejauh ini berjalan dalam kehidupan kami sehari-hari.

Sebagai contoh, jika istri gw kuliah dan belum sempat mencuci pakaian kotor, maka gw akan ambil alih kerjaan tersebut selagi gw punya waktu lengang lebih banyak daripada istri. Mencuci pakaian jelas satu paket dengan menjemur. Karena gw mencuci dan istri gw sedang di luar rumah, maka dia yang bertugas belanja bahan makanan untuk nantinya dimasak. Jika gw sedang bepergian keluar dan kebetulan dekat dengan supermarket, maka gw menawarkan diri untuk belanja makanan. Soal masak pun demikian. Siapa yang lagi lengang, dia yang masak. Dengan begini konsep gotong royong (saling mendukung) pelan-pelan biasa kami jalani. Lagian, kenapa sih cowok-cowok seperti alergi gitu mengerjakan pekerjaan rumah? Kok kaya tabu banget gitu cowok turun tangan dalam pekerjaan rumah tangga?

Tolong dipahami gw gak menggeneralisasi. Kalau gak ngerasa, gak usah tersinggung. Kalau merasa, jangan marah-marah. Lebih baik introspeksi diri.

Gw paham cowok kerja untuk menafkahi keluarga, waktunya habis di kantor. Tapi, ada sebuah konsep menarik yang disampaikan salah seorang ustadz kondang perihal nafkah. Beliau mengatakan bahwa nafkah yang utama adalah sandang, pangan, dan papan. Idealnya, setiap poinnya itu dibagi lagi menjadi 3 bagian. Misalkan, menafkahi istri dalam konteks pangan ada 3 bagian. Mulai dari belanja, memasak, bahkan sampai sini pun belum lengkap tanggung jawab seorang lelaki dalam konteks menafkahi pangan. Jika ingin lengkap, maka seorang suami harus menyuapi makanan yang tadi dimasaknya, baru tunai kewajiban menafkahi istri. Memang ini terkesan berlebihan. Makanya tadi gw bilang ini adalah kondisi ideal. Poin yang ingin gw sampaikan adalah istri itu udah kaya ratu. Dia harus dipenuhi kebutuhannya dengan cara yang terbaik. Maka menurut gw harus hati-hati membebankan semua pekerjaan rumah kepada istri, karena bisa jadi sebenarnya pekerjaan rumah tersebut adalah tanggung jawab suami. Tentu istri diperbolehkan untuk membantu pekerjaan rumah. Ingat, untuk membantu, tanggung jawabnya tetaplah di pihak suami. 

Pada akhirnya, komunikasi dan inisiatif menjadi saat penting dalam urusan pekerjaan rumah tangga. Selagi bisa, mudahkanlah beban istri, kerjakan yang lo bisa. Gw yakin tujuan lo yang menikah bukan untuk mencari asisten rumah tangga, tapi untuk mencari teman dalam mengarungi kehidupan. Dalam hal solidaritas bantuin temen mungkin lo udah khatam, bahkan lebih jago daripada gw. Yuk, coba solidaritas kepada teman ini digunakan juga dalam rumah tangga. Sejatinya istri adalah teman, bukan asisten rumah tangga. Iya, kan?

Jangan lupa simpen piring kotor di tempat cucian!

Sekian.

(Photo by Dan Gold on Unsplash)


Kamis, 02 Januari 2020

Tahun Baru, Tahun Sotoy!

17.14

(Disclaimer: Tidak bermaksud merendahkan seseorang atau golongan. Tidak juga menyepelekan suatu opini, apalagi merendahkan pelontarnya. Gw cuman pengen nawarin perspektif baru.)

Servus!

Selamat Tahun Baru bagi kalian yang baca blog ini, karena kalian udah bisa bertahan dan melewati tahun 2019. Semoga tahun ini bisa menjadi lebih baik dan membawa berkah untuk hidup kita semua.

Dahulu ketika masih bayi, kita jatuh berkali-kali saat belajar untuk jalan. Seringkali jatuh, kadang harus menahan sakit dan malu, ketika kita belajar untuk lari setelah bisa berjalan. Seharusnya kita kembali menerapkan prinsip itu saat kita menjalani kehidupan sebagai manusia dewasa. Dengan begitu kita bisa berkembang menjadi lebih baik lagi dan bisa berakhir memiliki banyak kemampuan. 

Prinsip ini perlahan coba gw program ke otak gw. Bersama istri gw, gw selalu mengulang-ulang kalimat yang kurang lebih berbunyi "Sotoy aja dulu! ntar lama-lama juga jago". Kami percaya bahwa semua orang yang kita pandang saat ini jago pada sebuah bidang, pernah berada di sebuah masa yang mereka sotoy banget. Gw beberapa kali menemukan konten di sebuah platform berbagi video di mana pembuat konten bereaksi terhadap video-video yang mereka buat di awal karir mereka. Kebanyakan dari mereka sedikit bingung, mengapa dulu mereka alay dan sotoy? Karena memang kita harus berproses dan meniti dari awal, di mana hasilnya pasti jelek. Emang hukum alam bahwa gak ada yang tiba-tiba langsung jago di sebuah hal.

Prinsip yang kami program berjalan paralel dengan praktik. Alhamdulillah, gw ada ketertarikan untuk jalan-jalan, begitupun istri gw. Ditambah lagi kami memiliki ketertarikan untuk mengabadikan sesuatu menggunakan media foto. Maka "proyek sotoy" pertama yang kami tekuni adalah fotografi. Alhasil, kami sering jalan-jalan tanpa tujuan berkeliling Kota Berlin untuk mencari angin dan juga mencari foto. 

Di era digital ada sebuah paradigma yang berkembang dan tagline-nya menurut gw sudah cukup dikenal, yaitu sharing is caring. Sebanding dengan semudah membalikkan telapak tangan, semudah itu juga lo bisa menemukan tutorial hampir untuk segala macem hal. Yang menarik adalah banyak yang berbagi ilmunya secara gratis. Jadi, hampir gak ada alesan untuk menunda belajar, kecuali lo emang gak tertarik pengen bisa sebuah hal dan lebih memilih untuk menjadi penikmat, bukan pencipta.

Beberapa hari kemarin gw dan istri beserta beberapa kawan lama dari Darmstadt jalan-jalan berkeliling Berlin. Sebuah permintaan spesifik dari salah seorang kawan membuat gw dan istri memutuskan untuk jalan ke daerah Hackescher Markt dan sekitar stasiun Warschauerstraße. Yang menarik adalah suasana urban langsung terasa ketika berkeliling di sekitar daerah tersebut. Dua tempat tersebut menurut gw dua dari banyak spot-spot di Berlin yang seolah mengafirmasi bahwa Berlin emang indah karena acak-acakan. Berprinsip sotoy membuat kami langsung mengeluarkan kamera dan mulai menjepret dan melatih mata supaya lebih "peka" untuk menangkap sebuah objek yang menarik. Tapi perlu dicatat, namanya seni itu abstrak. Artinya, silahkan lo eksplor gaya lo sendiri. 

"Kok hasilnya jelek?" jawab aja "Bodo Amat, kan gw sotoy!"

Kesimpulannya adalah kita bisa menjadi apapun di jaman sekarang. Tahun baru biasanya menjadi momentum untuk sejenak melihat ke belakang dan merefleksikan diri sekaligus menyusun dan berencana tentang apa yang akan dilakukan tahun 2020. Banyak kemudahan-kemudahan berbasis teknologi yang sebenernya menjadi keuntungan generasi ini, bila dibandingkan dengan jaman orang tua kita. Pilihannya tinggal apakah kita mau eksplor atau tidak?

Ngomong-ngomong gw mau sotoy dan membagikan beberapa hasil jepretan gw  di bawah ini.

Jangan lupa matiin kamera kalau sudah beres foto!

Sekian.




Credit

Logo by : Cup graphic by Madebyoliver from Flaticon is licensed under CC BY 3.0. Made with Logo Maker