(Disclaimer: Tidak bermaksud merendahkan seseorang atau golongan. Tidak juga menyepelekan suatu opini, apalagi merendahkan pelontarnya. Gw cuman pengen nawarin perspektif baru.)
Servus!
Gak kerasa gw udah menjalani kehidupan berumah tangga hampir setengah tahun. Ya, memang masih tergolong muda. Walau begitu gw udah banyak mendapatkan pelajaran tentang fase baru ini yang menjadi bagian dari perjalanan hidup gw. Kali ini gw mau berbagi yang sedikit ini dalam menjalani rumah tangga. Kalau menginspirasi ya alhamdulillah, kalau enggak ya gak papa. Toh, gw cuman pengen cerita doang. Omong-omong, terima kasih ya sudah berkenan membaca cerita gw :)
Ini murni opini pribadi gw. Stereotipe atau paradigma yang berkembang di masyarakat, khususnya Indonesia, adalah istri bertugas mengurusi rumah dan suami yang bekerja. Karena suami sudah bekerja, beban pekerjaan rumah tangga diberikan seluruhnya kepada istri. Acap kali gw berpikir, kasihan juga perempuan. Dalam rumah tangga perannya tak ubah seperti asisten rumah tangga. Sebelum dilanjutkan, perlu digaris bawahi bahwa menjadi ibu rumah tangga bagi gw adalah hal yang luar biasa. Yang gw angkat adalah tema soal pembagian pekerjaan rumah tangga, bukan menyoal status ibu rumah tangga. Kalau lo gak setuju, silakan komentar di bawah. Siapa tau jadi bisa bertukar ide :)
Memang, konsep ideal dalam berumah tangga adalah gotong royong. Hanya saja konsep ini bisa diterjemahkan ke dalam berbagai macam bentuk pembagian tugas dalam rumah tangga. Gw selama enam bulan ini latihan untuk mengejawantahkan konsep gotong royong tersebut. Simpelnya adalah gw mengambil alih suatu pekerjaan rumah ketika istri gw sedang berhalangan untuk mengerjakannya, begitupun sebaliknya. Jadi, dalam konsep kami berumah tangga gak ada istilah, "ini kerjaan istri, gw gamau ikut campur". Mottonya adalah yang bisa gw kerjain akan gw kerjain. Alhamdulillah, motto tersebut sejauh ini berjalan dalam kehidupan kami sehari-hari.
Sebagai contoh, jika istri gw kuliah dan belum sempat mencuci pakaian kotor, maka gw akan ambil alih kerjaan tersebut selagi gw punya waktu lengang lebih banyak daripada istri. Mencuci pakaian jelas satu paket dengan menjemur. Karena gw mencuci dan istri gw sedang di luar rumah, maka dia yang bertugas belanja bahan makanan untuk nantinya dimasak. Jika gw sedang bepergian keluar dan kebetulan dekat dengan supermarket, maka gw menawarkan diri untuk belanja makanan. Soal masak pun demikian. Siapa yang lagi lengang, dia yang masak. Dengan begini konsep gotong royong (saling mendukung) pelan-pelan biasa kami jalani. Lagian, kenapa sih cowok-cowok seperti alergi gitu mengerjakan pekerjaan rumah? Kok kaya tabu banget gitu cowok turun tangan dalam pekerjaan rumah tangga?
Tolong dipahami gw gak menggeneralisasi. Kalau gak ngerasa, gak usah tersinggung. Kalau merasa, jangan marah-marah. Lebih baik introspeksi diri.
Gw paham cowok kerja untuk menafkahi keluarga, waktunya habis di kantor. Tapi, ada sebuah konsep menarik yang disampaikan salah seorang ustadz kondang perihal nafkah. Beliau mengatakan bahwa nafkah yang utama adalah sandang, pangan, dan papan. Idealnya, setiap poinnya itu dibagi lagi menjadi 3 bagian. Misalkan, menafkahi istri dalam konteks pangan ada 3 bagian. Mulai dari belanja, memasak, bahkan sampai sini pun belum lengkap tanggung jawab seorang lelaki dalam konteks menafkahi pangan. Jika ingin lengkap, maka seorang suami harus menyuapi makanan yang tadi dimasaknya, baru tunai kewajiban menafkahi istri. Memang ini terkesan berlebihan. Makanya tadi gw bilang ini adalah kondisi ideal. Poin yang ingin gw sampaikan adalah istri itu udah kaya ratu. Dia harus dipenuhi kebutuhannya dengan cara yang terbaik. Maka menurut gw harus hati-hati membebankan semua pekerjaan rumah kepada istri, karena bisa jadi sebenarnya pekerjaan rumah tersebut adalah tanggung jawab suami. Tentu istri diperbolehkan untuk membantu pekerjaan rumah. Ingat, untuk membantu, tanggung jawabnya tetaplah di pihak suami.
Pada akhirnya, komunikasi dan inisiatif menjadi saat penting dalam urusan pekerjaan rumah tangga. Selagi bisa, mudahkanlah beban istri, kerjakan yang lo bisa. Gw yakin tujuan lo yang menikah bukan untuk mencari asisten rumah tangga, tapi untuk mencari teman dalam mengarungi kehidupan. Dalam hal solidaritas bantuin temen mungkin lo udah khatam, bahkan lebih jago daripada gw. Yuk, coba solidaritas kepada teman ini digunakan juga dalam rumah tangga. Sejatinya istri adalah teman, bukan asisten rumah tangga. Iya, kan?
Jangan lupa simpen piring kotor di tempat cucian!
Sekian.
nice one. komunikasi dan inisiatif itu penting. belum nikah sih, tapi turut merasakan bagaimana peran suami istri di lingkup terkecil, yaitu keluarga. luckyly, bapakku suka masak, jadi gak 'berisik' kalo mau makan. begitupula dengan mamahku, tak melulu belanja sayur, kadangkala perannya bergantian.
BalasHapusparadigma usang berasal dari budaya tiap daerah yang seharusnya diganti bagi setiap individu (yang sudah maupun belum) open-minded.
Tetap laki laki yang tanggung jawab dan menjadi penentu akhir. Kalo mengerjakan tugas rumah tangga mah adalah empati kita sama pasangan. Jempol dua A.
BalasHapus