(Disclaimer: Tidak bermaksud merendahkan seseorang atau golongan. Tidak juga menyepelekan suatu opini, apalagi merendahkan pelontarnya. Gw cuman pengen nawarin perspektif baru.)
Servus!
Kemajuan teknologi menciptakan sebuah era baru, yaitu era keterbukaan yang gak mengenal batas. Konsep ini luas dikenal dengan nama globalisasi. Dengan hilangnya batas berubah pula model komunikasi zaman sekarang. Semudah membalikkan telapak tangan, semudah itu pula kita membagikan isi kepala kita ke seluruh dunia melalui berbagai macam bentuk dan media. Setelah kita memiliki bahasa internasional, sekarang kita memiliki alat komunikasi internasional.
Reformasi tahun 1998 menghasilkan sebuah alam baru di Indonesia, yaitu alam bebas berbicara. Kebebasan berbicara ini bisa ditafsirkan menjadi bermacam-macam. Walaupun ada banyak tafsir, ada suatu hal yang pasti di mana kita bisa sepakat di situ, yaitu kita bebas berpendapat atau berkomentar tentang semua hal. Sekarang tidak harus menjadi orang hebat dulu untuk berkomentar dan didengar orang banyak. Keterbatasan media zaman dulu membuat ada juga semacam "pembatas" yang membatasi dan menyeleksi siapa-siapa yang bisa berpendapat dan kemudian disebarkan secara luas. Dulu belum ada internet, maka butuh radio atau mungkin media cetak untuk menyebarluaskan ide dan gak semua orang bisa berkomentar di media cetak atau di radio. Yang terkenal atau mempunyai pengaruh lebih cenderung punya kemudahan untuk diundang. Sekarang hanya butuh sebuah ponsel dan quota internet, tulisan lo atau karya lo bisa dibaca oleh seseorang di antah berantah di tengah gurun Texas, Amerika Serikat.
Hal yang pasti udah kita punya dari dulu, bahkan sebelum adanya kemajuan teknologi seperti sekarang, adalah hak untuk berbicara. Beruntunglah hak ini, secara teori, tidak mengenal batasan apapun, bahkan sampai ke lapisan paling sensitif, misalkan bangsa, ras, agama, gender suku, dan budaya. Simpelnya, setiap kepala yang lahir ke dunia ini, dia sudah dianugerahi hak untuk berbicara (berpendapat, berkomentar). Namun, harus kita sadari bahwa seseorang yang berhak melakukan sebuah tindakan gak berarti otomatis menjadi berkewajiban untuk melakukan kegiatan tersebut, dalam konteks ini adalah berkomentar atau berpendapat.
Contohnya: Ada seorang pesohor tanah air sedang ditimpa masalah dalam rumah tangganya. Karena media memberitakannya tanpa henti, akhirnya jadilah permasalahan ini, yang seharusnya privat, booming dan dikonsumsi semua khalayak. Kalau berita tersebut nyampe kepada kita, sedikit banyak ada unek-unek yang muncul di kepala, karena kita adalah makhluk berakal dan sudah kenyang perutnya. Tindakan yang muncul selanjutnya adalah yang krusial. Di kolom komentar, di mana berita itu naik, hampir pasti ada warganet kelebihan duit dan waktu yang berkomentar. Perlu dicatat, mereka berhak untuk komentar! Yang menurut gw menjadi masalah adalah ketika seseorang tersebut merasa pengen banget seperti berasa punya kewajiban untuk berkomentar. Menurut gw bisa jadi masalah, karena ada banyak kasus-kasus lain yang bisa jadi makin panas bersumber dari komentar-komentar orang, hanya karena ada segelintir yang merasa "wajib" untuk komentar. Kasus rumah tangga mah hanya satu dari macam-macam kasus lain yang mungkin lebih sensitif dan ngeri-ngeri sedap.
Yang lebih unik adalah golongan seleb, entah itu -ritas, -gram, atau -twit. Gw memiliki kesan bahwa ada sebagian yang merasa punya kewajiban untuk komentar atas segala sesuatu yang lagi terjadi atau viral. Sekali lagi, mereka dan kita semua berhak untuk komentar. Apakah berhak berarti berkewajiban? Jangan mentang-mentang berhak kemudian lupa bahwa hak itu sifatnya bisa digunakan atau enggak. Apalagi hanya karena follower-nya banyak lantas merasa wajib untuk berkomentar. Gak wajib, gengs! Poin gw adalah menggunakan hak ini untuk hal-hal yang baik dan menggunakannya dengan bijak. Oh, ini udah 2020, ya?! Ada yang gw kelupaan.
Era post-modern kaya sekarang mah semua dibuat relatif, relatif terhadap interpretasi masing-masing. Syukur kalau diterima beberapa orang lain akan menjadi konsensus komunal. Maka tadi ketika gw bilang gunakan hak ini untuk yang baik, ukurannya pun jadi random dan bias. Silakan rumuskan sendiri standar apa yang mau dipake, termasuk standar ketika kalian berkomentar. Sila analisa sendiri apakah kalian sedang menggunakan hak dengan bijak, atau asal komentar aja karena gw berhak (dan secara ga sadar ngerasa punya kewajiban). Jadi, marilah kita menggunakan hak dan kebebasan berpendapat ini dengan bijak. Marilah saling bertenggang rasa dan berempati kepada sesama penghuni dunia nyata dan juga dunia maya.
Jangan lupa jemur anduk kalau abis mandi!
Sekian.
Photo by Prateek Katyal on Unsplash
Tidak ada komentar:
Posting Komentar