Senin, 21 September 2020

#GagalPaham, kenapa masih banyak yang tawuran!

06.00




0. Tentang gagal paham 


Gagal paham adalah tulisan yang  mengangkat secuil fakta-fakta dari keseharian kita yang ternyata kalau kita kaji dan renungi sifatnya misteri, menyimpang atau tidak pada tempatnya. Dengan tulisan ini Gw mencoba ngajak kalian berpikir bareng tentang fakta lapangan yang luput dari perhatian kita.

Disclaimer : Tulisan gw tidak ditujukan untuk menyalahkan, memojokkan, mendiskreditkan apalagi mencemarkan nama baik dari perseorangan maupun kelompok masyarakat tertentu. Hal-hal yang dibahas disini murni hasil pengamatan penulis yang kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan.
 

1. Latar Belakang
 

Sebelumnya gw harus berterima kasih kepada algoritma youtube, karena gw jadi gak sengaja nemu sebuah channel youtube yang dikelola oleh seorang komika, namanya Rahmet Ababil. Harusnya kalian pada tau yah. Secara dia pernah ikut ajang cari bakat Stand Up Comedy di Kompas TV. Entah gimana pokoknya tiba-tiba nemu channel dia. Di channel-nya, Rahmet ngebawain hal yang menurut gw unik, yaitu cerita-cerita pengalaman pribadi dari orang-orang yang dulu pernah terlibat tawuran, terlepas apa perannya di kejadian itu. Namun, perlu dicatet bahwa si Rahmet ini buat video bukan dalam rangka mempromosikan tawuran, melainkan untuk memberi edukasi kepada teman-teman yang masih sekolah agar menghindari tawuran. Yang bikin gw bingung adalah kenapa masih ada temen-temen yang semangat banget ikut tawuran?
 

2. Contoh Konkret


Lagi-lagi gw harus berterima kasih sama algoritma youtube. Karena gw nonton salah satu videonya Rahmet, muncul otomatis beberapa saran video-video dengan tema yang serupa. Yang mencengangkan adalah tanggal video itu diunggah belum terlalu lama. Maksud gw bukan yang kaya 10 tahun lalu gitu, baru 2 atau 3 tahun lalu. Artinya, fenomena tawuran ini masih ada dan masih banyak juga pelajar-pelajar yang aktif di aktivitas tersebut. Selanjutnya, hal yang bikin gw sedih adalah tawuran-tawuran itu terjadi di berbagai daerah. Kalau dinilai dari luas persebarannya, fenomena ini bisa diibaratkan seperti wabah penyakit, atau pandemi. Memang efeknya tidak langsung seperti wabah, namun tetep aja memberi efek negativ kepada masyarakat luas. Karena emang gak tanggung-tanggung, di dalem kereta juga dijadiin tempat buat ribut. Yang cerita itu pengakuan langsung dari kawan gw yang dulu waktu sekolah selalu naik krl dari rumahnya. Ini terjadi di sekitar tahun 2008-an gitu, ketika krl belum sebersih dan senyaman sekarang.Tiba-tiba gerbong krl berubah jadi medan perang, di mana ada batu beterbangan, orang berteriak dan beradu otot.


3. Tanggapan


Sayang banget. Itu hal pertama yang bisa gw ungkapin. Ya, karena kalo lo pikir-pikir lagi, emang sayang banget. Silakan lo cari tau berapa orang yang punya kesempatan sekolah sampai SMA dan sederajat? Kalau angkanya sedikit, artinya lo yang bisa sekolah sampe jejang SMA dan sederajat adalah salah satu dari sedikit orang beruntung di Indonesia. Kalau udah dapet kesempatan seperti itu, masa sih mau lo sia-siain? Apa hubungannya tawuran dengan menyia-nyiakan kesempatan?

Pertama, karena tawuran itu seperti cuplikan perang dalam arti paling kecil. Maksud gw adalah konsep yang berlaku di tawuran dan perang itu sama, sama-sama gak ada yang bisa menebak siapa kena pukul, siapa yang bakal terluka, siapa yang selamat atau bahkan siapa yang meninggal. Yang sama lagi adalah bakal mengakibatkan kerugian buat banyak orang. Korban beserta keluarga udah jelas rugi. Sekolah juga jadi tercoreng namanya. Warga yang tinggal di sekitar tempat kejadian tawuran bisa dapet kerugian, karena bisa jadi ada pengerusakan fasilitas atau mungkin properti pribadi.

Kedua, Kalau amit-amitnya ada bocah yang meninggal, yaudah game over. Capek-capek orang tua ngebiayain dari kecil sampe gede, bahkan bisa aja ada momen dimana harus ngutang dsb, udahannya meninggal karena tawuran. Rugi banget, kan? Padahal dengan bekal pendidikan SMA sederajat bisa mendapatkan pekerjaan. Alih-alih bantu keluarga dengan bekerja, eh doski malah rebahan mulu (baca: udah meninggal jadi tiduran mulu di kuburan). 

Ketiga, gak ada kerjaan di dunia ini yang menganggap bahwa tawuran adalah hal yang pantas dan bisa jadi leverage di CV kita. Padahal, peradaban manusia udah semaju itu sehingga ada orang-orang yang menginisiasi perkumpulan untuk mewadahi temen-temen yang suka kekerasan. Sebut saja tinju, gulat, atau UFC. Kekerasan itu buruk, kalau gak disalurkan lewat kanal yang tepat. Kalau beradu otot lewat jalur yang benar, maka cedera bisa diminimalisasi, bertarung dengan sikap saling menghormati, ada wasitnya yang mengawasi, bahkan bisa mendapatkan komisi setelah bertanding. Jadi, suka berantem gak berakhir sia-sia cuma buat adu nyali. Kuncinya ada di regulasi. Hal yang untuk kita baik, seperti jual beli, bisa juga membawa kerugian, jika tidak diregulasi dengan aturan-aturan yang fair.
 
  
4. Saran


Cobalah dipikirkan lagi, apa emang ada manfaatnya? Banyak pengakuan dari temen-temen di channel Rahmet, bahwa mereka yang sempat baku hantam malah jadi berteman setelah lulus sekolah. Lalu, apa esensi dari tawuran? Apa nilai yang diperjuangkan dan dibela? karena pentolannya aja berteman lagi selepas lulus sekolah. Logikanya, dulu mereka pasti beraksi atas dasar sebuah nilai yang sangat dipercaya, yang nilai tersebut kehilangan esensinya setelah terima ijazah. Terus untuk apa lo berantem? Lain kali, cari sebuah nilai yang berkesinambungan, yang tak lekang oleh waktu. Misalkan, sebuah nilai yang bisa lo percayai dan perjuangkan adalah menyayangi orang tua sebagaimana mereka menyayangi lo sedari kecil. Dengan punya nilai seperti itu, insya Allah hidup lo bakal lebih semangat dan penuh makna. Orang tua lo ridho dengan apa yang dilakuin, sehingga  ada aja jalan untuk meraih yang dicitakan lewat doa mereka.

Kalau emang lo demen banget sama kekerasan, silakan daftar untuk masuk sasana tinju kek, atau gulat, atau UFC. Dengan begitu, keselamatan lo terjamin, karena dipantau dan resmi. Udah gitu lo juga bisa dapet uang dari hasil pukul-pukulan. Kalo tawuran, sama sekali gak ada hal yang lo dapet. 
 

5. Kesimpulan
 

Marilah kita memikirkan hal yang akan kita lakukan dengan bijak dan rasional. Bisa melanjutkan pendidikan jenjang yang lebih tinggi berarti lo dapat sebuah kesempatan yang mungkin gak dipunyai oleh temen-temen lain yang gak seberuntung lo. Gunakan kesempatan itu buat hal yang lebih besar. Terakhir, hormat buat Rahmet yang udah mengangkat tema tawuran ini. Ditambah lagi selalu diselipkan pesan perdamaian dan persatuan pelajar Indonesia. 
 
Jangan lupa ketok langit-langit kalau mau turun kopaja!

Sekian

Photo by Attentie Attentie on Unsplash

Minggu, 13 September 2020

Kasir Menebar Kasih

19.38

 

Servus!

Hidup di rantau akan meninggalkan kesan, karena lika-likunya yang random dan naik turun semacam naik roller coaster. Jauh, dekat, dalam maupun luar negeri menurut gw gak jadi soal. Ketika jauh dari rumah perantau akan masuk ke dalam situasi baru dan asing. Selama hidup di rantau banyak hal-hal yang memaksa beradaptasi dengan lingkungan baru. Proses adaptasi inilah yang akhirnya akan memperkaya wawasan dan pengalaman perantau tersebut. Hal ini juga yang gw alami selama tinggal di rantau.

Masalah yang muncul ketika merantau beragam macamnya. Ada yang berjuang karena masalah finansial, masalah mental, kebudayaan dan lain sebagainya. Survival of the fittest agaknya berlaku buat orang yang merantau. Kisah nyata. Ada kawan-kawan yang akhirnya menempuh jalan lain dari tujuan awal merantau. Makdarit, perantau selain harus tangguh juga harus kreatif supaya bisa menyelesaikan tujuan awal dan tidak balik kanan kemudian mencari jalan lain. Gw pribadi menghadapi semua masalah yang gw sebutin sebelumnya.

Disclaimer: Di tulisan ini gw gak pengen menampilkan sirkus masalah, sirkus kesusahan dalam hidup selama di perantauan. Bukan dalam rangka berlomba pamer kesedihan atau kesusahan hidup, bukan juga untuk mendulang simpati. Murni gw hanya pengen membagikan pengalaman hidup gw.

Ada sebuah masa di mana gw harus bayar kuliah, tapi uang di bank cuman seuprit. Ibarat kata mau beli cilok aja bakal dicengin sama abangnya. Mungkin dia bakal bilang

"Mending gw jadi tukang cilok tapi ada duitnya".

Maka di waktu tersebut hal yang paling logis buat dilakuin adalah kerja dan ngumpulin duit. Gw daftar di sebuah portal online untuk cari kerjaan. Singkat cerita gw daftar kerjaan jadi kasir dan akhirnya diterima kerja jadi kasir di sebuah supermarket di Berlin. Kerjaan kasir di supermarket sekilas santuy dan gw merasa familiar dengannya, karena gw bertahun-tahun belanja di supermarket dan alhamdulillah selalu bayar. Betul. Bayarnya ya harus di kasir. Terang aja gw ngerasa familiar dengan pekerjaan seorang kasir. Kenyataannya?

Dua minggu pertama ancur. Lo pada pernah dong mengalami kepanikan di tengah situasi yang masuk kategori genting. Pertama yang jelas IQ mendadak jongkok, sehingga otak gak bisa menghasilkan pemikiran-pemikiran brilian. Efek yang paling menyebalkan adalah basket alias ketiak basah berlebih. Kenapa bisa jadi panik? karena lo gak bakal tahu apa yang bakal dilakukan oleh pembeli. Bisa jadi dia bertanya hal yang aneh, bisa juga dia marah-marah akibat dari lambatnya gw kerja. Ada 1001 kemungkinan hal yang bisa dilakukan oleh pembeli. 

Selepas dua minggu awal, gw udah mulai menemukan ritme dan mulai nyaman, karena gw udah lebih banyak tahu hal-hal dasar tentang perkasiran duniawi. Soal teknis udah beres. Ada lagi hal baru yang juga mengganjal. Selain kelakuan pembeli yang beragam, karakter atau pembawaan diri pembeli juga gak cuma 1 atau 2 tipe. Yang ini juga bikin jantung berdebar. Kalo pas dapet pembeli nenek-nenek santuy gitu enak, ya. Tapi kalo manusia paruh baya yang dateng setelah bekerja seharian terus dia ngantri di tempat gw, nah, itu yang menyeramkan. Karena sempet ada sekali waktu gw digas hanya karena dia berdirinya "lama". Pas ngantri. Pusing dah. 

Emang dasar orang Indonesia yang murah senyum, gw sih menghadapinya dengan senyuman aja. Seperti lagu Band Dewa 19. Lawan gw adalah orang Jerman yang dasarnya emang kaku. Alhasil, gak selalu senyuman gw dibalas dengan senyum. Kadang dicuekin, kadang disenyumin balik. Gw gak nyalahin mereka sih, karena bisa aja mereka baru aja menjalani hari yang menyebalkan. Ya bodo amat. Tapi berbeda ceritanya jika ada pembeli yang membalas keramahan gw. Jadi sama-sama senyum gitu. Momen yang singkat itu ternyata bisa berefek positif ke gw dan (semoga) juga ke pembeli tersebut. 

Yang gw pelajari adalah mood baik itu menular, begitu juga sebaliknya. Pembeli yang nyuekin dan manyun-manyun gitu berefek banget ke gw. Jadi males aja dan jadi bete. Dianya bete dan gw juga jadi ketularan bete dan akhirnya jadi saling bersungut-sungut. Sama halnya ketika gw yang jadi pembeli. Gw udah sadar bahwa dijutekin oleh pembeli itu gak enak. Makdarit, gw berusaha ramah kepada para kasir setiap kali gw berhadapan dengan mereka. Nah, ternyata niat baik tak selalu mulus. Ada aja saatnya gw udah ramah, eh, si kasirnya malah jutek. Alih-alih pengen ramah gw malah jadi males dan walhasil gw jutekin balik. Interaksi kan dua arah, ya. Jadi, kedua belah pihak harus sama-sama mengusahakan supaya jadi nyaman ketika berinteraksi.

Udah segitu aja. Berinteraksi lah dengan baik dan patut. Sebarkan aura positif, karena hal tersebut bisa menular. Berlakulah ramah kepada para kasir, karena sesungguhnya mereka lelah sama kaya lo.
 
Jangan lupa cuci tangan setelah keluar rumah!
 
Sekian. 

(Photo by zibik on Unsplash)

Jumat, 10 April 2020

Ayo, Pilih Sekarang dan Kerjakan!

19.47


Servus!

Beberapa saat lalu ada kawan yang merekomendasikan sebuah video di Youtube. Video itu bercerita tentang salah seorang pahlawan Indonesia, yaitu Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Nama bekennya H.O.S Tjokroaminoto. Kalian pernah denger namanya? Kalau pernah, coba tinggalin di kolom komentar hal apa yang kalian ingat dan paling berkesan tentang beliau ini. 

Gw gak pengen cerita panjang lebar soal sejarah kehidupan H.O.S Tjokroaminoto di tulisan kali ini. Supaya simpel gw kasih tautan buat video yang gw ceritain tadi. Singkatnya beliau ini salah satu tokoh paling berpengaruh di masa-masa persiapan indonesia merdeka, terutama ketika perjuangan lewat jalur politik, pergerakan organisasi, dan diplomasi semakin marak. Bingkai waktunya kira-kira awal tahun 1900-an. Beliau ini tokoh besar dari organisasi pergerakan bernama Sarekat Islam, sebelumnya bernama Sarekat Dagang Islam bentukan Haji Samanhoedi. Melalui organisasi tersebutlah H.O.S Tjokroaminoto berperan aktif dalam usaha memerdekakan Indonesia. Bahkan, beberapa nama besar seperti Agus Salim, Kartosoewirjo, sampai Tan Malaka dikabarkan adalah murid beliau. Gw gak tau pasti bagaimana proses belajarnya, hanya saja nama-nama tersebut berkaitan erat dengan nama H.O.S Tjokroaminoto. 

H.O.S Tjokroaminoto bisa dibilang masuk kedalam golongan terpelajar pada waktu itu. Ide-ide beliau yang luar biasa diejawantahkan dengan sangat baik melalui organisasi tempat beliau bernaung. Dengan bekal pengetahuan yang dimiliki ia menularkan pemikiran-pemikirannya soal Indonesia merdeka. Para tokoh-tokoh terpelajar lain saling urun pendapat dan berkontribusi aktif, baik melalui Sarekat Islam maupun lewat organisasi pergerakan yang lain-lain. Bangsa ini memang lahir dari ketajaman berpikir, adu argumen, dan persatuan. 

Hikmah yang gw ambil dari secuil kisah hidup H.O.S Tjokroaminoto adalah kaum terpelajar Indonesia yang kala itu aktif melalui organisasi-organisasi pergerakan menjadi salah satu elemen penting dalam perjuangan memerdekakan Indonesia. Banyak contoh kasus dimana kenyamanan hidup yang dinafikan oleh para pahlawan kita untuk sesuatu yang lebih besar. Sebut saja H.O.S Tjokroaminoto yang menjadi tokoh sentral dalam tulisan ini atau misalkan Pangeran Diponegoro yang meninggalkan istana untuk berjuang melawan penjajahan. Dengan previlese yang sedemikian hebatnya di kala itu mereka bisa hidup dengan aman dan nyaman. Tapi, yang mereka lakukan adalah keluar dari zona tersebut kemudian berkorban memperjuangkan sebuah cita-cita yang lebih besar dengan berbagai cara yang mereka mampu. Bayangkan, bisa ikut sekolah saja sudah merupakan anugerah yang sangat langka. Apalagi bisa sampai sekolah tinggi. Hmm, dirasa-rasa kok mirip ya sama zaman sekarang? Gak semua orang bisa sekolah. Ah, mungkin gw aja yang lagi halu. Masa sekarang mah udah makmur, kan?

Menurut gw masuk ke dalam golongan terpelajar sangatlah berat bebannya. Secara gak sadar lo yang bisa sekolah sampai jenjang tinggi adalah yang jadi tumpuan Bangsa ini, salah satu golongan masyarakat yang bertanggung jawab untuk memajukan bangsa dan memerdekakan seluruh Rakyat Indonesia dalam konteks masa kini. Sekali lagi gw tekankan, Bangsa ini gak akan merdeka kalau dulu kaum terpelajarnya cuek bebek cari aman sendiri-sendiri. Dulu, yang sekolah itu bisa hidup enak kerja sebagai pegawai pemerintah Belanda. Tapi sebagiannya ada yang memilih untuk memperjuangkan cita-cita luhur, yaitu kemerdekaan Indonesia.

Gw paham, sih, gak bisa juga seidealis itu kemudian langsung resign dari kantor dan jadi aktivis. Memang gak punya uang itu adalah ancaman. Ancaman zaman penjajahan jauh lebih mengerikan. Kalau terlalu aktif, bisa-bisa ditangkap dan diasingkan. Sudah lebih baik daripada dihukum mati. Zaman sekarang ancamannya mungkin dihina tetangga atau dicibir kawan, karena lebih miskin atau lebih sedikit hartanya. Poinnya bukan tinggalkan kerjaan dan turun ke jalan. Bukan itu.

Poin gw adalah bahwa lo semua yang bisa sekolah sampe tinggi punya tanggung jawab moral untuk berkontribusi bagi bangsa ini, karena lo punya kelebihan dalam bidang ilmu pengetahuan tertentu dan pola pikir maju yang membuat lo lebih berdaya. Gw gak maksud membuat lo yang terpelajar jadi eksklusif dengan menyebut sebagai sebuah golongan tertentu yang lebih berdaya. Justru, gw ingin menyemangati diri sendiri dan lo semua yang berkesempatan pernah sekolah sampe tinggi untuk aktif berkontribusi aktif buat masyarakat yang selanjutnya akan berdampak buat negara. Inget, leluhur kita selalu meluangkan waktu untuk ngumpul, urun pendapat, berdiskusi, dan berjuang demi kebaikan negara ini. Avengers punya kelebihan dan mereka memanfaatkan kelebihannya itu untuk menjaga bumi. Seperti mereka, kita pun seharusnya menggunakan kelebihan yang kita punya untuk menjadi bermanfaat bagi masyarakat.

Menurut opini gw hal yang paling mahal yang harusnya lo punya setelah menyelesaikan sekolah tinggi adalah pola pikir. Gak bermaksud merendahkan yang lain yang gak sekolah, tapi itulah kenyataannya. Persatuan bangsa Indonesia gak lahir ujug-ujug dari mimpi beberapa orang yang berujung melahirkan kesamaan pikiran. Gambaran sebuah bangsa itu muncul dari pikiran. Membayangkan akan ada sebuah negara bernama Indonesia kala itu mungkin seperti utopia. Tapi, dengan pola pikir yang modern dan maju hal itu bisa kita raih dan akhirnya kita nikmati sekarang.

Kesimpulannya, mari belajar dari bagaimana golongan terpelajar dahulu mengambil peran untuk memajukan negara ini. Pola pikir yang diasah selama proses belajar menjadi modal utama untuk berperan di masa sekarang ini, dengan tetap disandingkan dengan keteguhan moral. Sebut saja misalkan konsep soal integritas, kejujuran, keadilan dsb harusnya sudah dipahami dengan matang dan komprehensif oleh para sarjana. Dengan begitu, golongan tersebut harusnya fokus dan bisa lanjut ke level selanjutnya seperti implementasi konsep critical thinking guna mengambil sebuah keputusan dengan baik di level strategis misalnya, yang mana kemampuan tersebut kurang terasah bilamana tidak sekolah tinggi. Tulisan ini menjadi pengingat gw pribadi dan juga mungkin lo yang baca bahwa kebanggan menjadi sarjana atau lulusan jenjang sekolah menengah sampai tinggi dibarengi dengan tanggung jawab moral untuk berkontribusi terhadap negara. Sekali lagi, negara ini merdeka berkat peranan aktif golongan terpelajar ditambah kolaborasi dari seluruh elemen masyarakat sebagai penyokong. Masih banyak banget yang bisa dikerjain di Indonesia. Silakan pilih peran apa yang lo rasa paling cocok, kemudian langsung bergerak!

Jangan lupa cuci tangan setelah keluar rumah!

Tautan video tentang H.O.S Tjokroaminoto:

Photo by Bluehouse Skis on Unsplash

Minggu, 26 Januari 2020

Semua berhak (tapi gak wajib) untuk berkomentar!

13.39

(Disclaimer: Tidak bermaksud merendahkan seseorang atau golongan. Tidak juga menyepelekan suatu opini, apalagi merendahkan pelontarnya. Gw cuman pengen nawarin perspektif baru.)


Servus!

Kemajuan teknologi menciptakan sebuah era baru, yaitu era keterbukaan yang gak mengenal batas. Konsep ini luas dikenal dengan nama globalisasi. Dengan hilangnya batas berubah pula model komunikasi zaman sekarang. Semudah membalikkan telapak tangan, semudah itu pula kita membagikan isi kepala kita ke seluruh dunia melalui berbagai macam bentuk dan media. Setelah kita memiliki bahasa internasional, sekarang kita memiliki alat komunikasi internasional.

Reformasi tahun 1998 menghasilkan sebuah alam baru di Indonesia, yaitu alam bebas berbicara. Kebebasan berbicara ini bisa ditafsirkan menjadi bermacam-macam. Walaupun ada banyak tafsir, ada suatu hal yang pasti di mana kita bisa sepakat di situ, yaitu kita bebas berpendapat atau berkomentar tentang semua hal. Sekarang tidak harus menjadi orang hebat dulu untuk berkomentar dan didengar orang banyak. Keterbatasan media zaman dulu membuat ada juga semacam "pembatas" yang membatasi dan menyeleksi siapa-siapa yang bisa berpendapat dan kemudian disebarkan secara luas. Dulu belum ada internet, maka butuh radio atau mungkin media cetak untuk menyebarluaskan ide dan gak semua orang bisa berkomentar di media cetak atau di radio. Yang terkenal atau mempunyai pengaruh lebih cenderung punya kemudahan untuk diundang. Sekarang hanya butuh sebuah ponsel dan quota internet, tulisan lo atau karya lo bisa dibaca oleh seseorang di antah berantah di tengah gurun Texas, Amerika Serikat.

Hal yang pasti udah kita punya dari dulu, bahkan sebelum adanya kemajuan teknologi seperti sekarang, adalah hak untuk berbicara. Beruntunglah hak ini, secara teori, tidak mengenal batasan apapun, bahkan sampai ke lapisan paling sensitif, misalkan bangsa, ras, agama, gender suku, dan budaya. Simpelnya, setiap kepala yang lahir ke dunia ini, dia sudah dianugerahi hak untuk berbicara (berpendapat, berkomentar). Namun, harus kita sadari bahwa seseorang yang berhak melakukan sebuah tindakan gak berarti otomatis menjadi berkewajiban untuk melakukan kegiatan tersebut, dalam konteks ini adalah berkomentar atau berpendapat. 

Contohnya: Ada seorang pesohor tanah air sedang ditimpa masalah dalam rumah tangganya. Karena media memberitakannya tanpa henti, akhirnya jadilah permasalahan ini, yang seharusnya privat, booming dan dikonsumsi semua khalayak. Kalau berita tersebut nyampe kepada kita, sedikit banyak ada unek-unek yang muncul di kepala, karena kita adalah makhluk berakal dan sudah kenyang perutnya. Tindakan yang muncul selanjutnya adalah yang krusial. Di kolom komentar, di mana berita itu naik, hampir pasti ada warganet kelebihan duit dan waktu yang berkomentar. Perlu dicatat, mereka berhak untuk komentar! Yang menurut gw menjadi masalah adalah ketika seseorang tersebut merasa pengen banget seperti berasa punya kewajiban untuk berkomentar. Menurut gw bisa jadi masalah, karena ada banyak kasus-kasus lain yang bisa jadi makin panas bersumber dari komentar-komentar orang, hanya karena ada segelintir yang merasa "wajib" untuk komentar. Kasus rumah tangga mah hanya satu dari macam-macam kasus lain yang mungkin lebih sensitif dan ngeri-ngeri sedap.

Yang lebih unik adalah golongan seleb, entah itu -ritas, -gram, atau -twit. Gw memiliki kesan bahwa ada sebagian yang merasa punya kewajiban untuk komentar atas segala sesuatu yang lagi terjadi atau viral. Sekali lagi, mereka dan kita semua berhak untuk komentar. Apakah berhak berarti berkewajiban? Jangan mentang-mentang berhak kemudian lupa bahwa hak itu sifatnya bisa digunakan atau enggak. Apalagi hanya karena follower-nya banyak lantas merasa wajib untuk berkomentar. Gak wajib, gengs! Poin gw adalah menggunakan hak ini untuk hal-hal yang baik dan menggunakannya dengan bijak. Oh, ini udah 2020, ya?! Ada yang gw kelupaan.

Era post-modern kaya sekarang mah semua dibuat relatif, relatif terhadap interpretasi masing-masing. Syukur kalau diterima beberapa orang lain akan menjadi konsensus komunal. Maka tadi ketika gw bilang gunakan hak ini untuk yang baik, ukurannya pun jadi random dan bias. Silakan rumuskan sendiri standar apa yang mau dipake, termasuk standar ketika kalian berkomentar. Sila analisa sendiri apakah kalian sedang menggunakan hak dengan bijak, atau asal komentar aja karena gw berhak (dan secara ga sadar ngerasa punya kewajiban).  Jadi, marilah kita menggunakan hak dan kebebasan berpendapat ini dengan bijak. Marilah saling bertenggang rasa dan berempati kepada sesama penghuni dunia nyata dan juga dunia maya.

Jangan lupa jemur anduk kalau abis mandi!

Sekian.


Kamis, 09 Januari 2020

Gotong Royong Überall

06.00

(Disclaimer: Tidak bermaksud merendahkan seseorang atau golongan. Tidak juga menyepelekan suatu opini, apalagi merendahkan pelontarnya. Gw cuman pengen nawarin perspektif baru.)

Servus!


Gak kerasa gw udah menjalani kehidupan berumah tangga hampir setengah tahun. Ya, memang masih tergolong muda. Walau begitu gw udah banyak mendapatkan pelajaran tentang fase baru ini yang menjadi bagian dari perjalanan hidup gw. Kali ini gw mau berbagi  yang sedikit ini dalam menjalani rumah tangga. Kalau menginspirasi ya alhamdulillah, kalau enggak ya gak papa. Toh, gw cuman pengen cerita doang. Omong-omong, terima kasih ya sudah berkenan membaca cerita gw :)

Ini murni opini pribadi gw. Stereotipe atau paradigma yang berkembang di masyarakat, khususnya Indonesia, adalah istri bertugas mengurusi rumah dan suami yang bekerja. Karena suami sudah bekerja, beban pekerjaan rumah tangga diberikan seluruhnya kepada istri. Acap kali gw berpikir, kasihan juga perempuan. Dalam rumah tangga perannya tak ubah seperti asisten rumah tangga. Sebelum dilanjutkan, perlu digaris bawahi bahwa menjadi ibu rumah tangga bagi gw adalah hal yang luar biasa. Yang gw angkat adalah tema soal pembagian pekerjaan rumah tangga, bukan menyoal status ibu rumah tangga. Kalau lo gak setuju, silakan komentar di bawah. Siapa tau jadi bisa bertukar ide :)

Memang, konsep ideal dalam berumah tangga adalah gotong royong. Hanya saja konsep ini bisa diterjemahkan ke dalam berbagai macam bentuk pembagian tugas dalam rumah tangga. Gw selama enam bulan ini latihan untuk mengejawantahkan konsep gotong royong tersebut. Simpelnya adalah gw mengambil alih suatu pekerjaan rumah ketika istri gw sedang berhalangan untuk mengerjakannya, begitupun sebaliknya. Jadi, dalam konsep kami berumah tangga gak ada istilah, "ini kerjaan istri, gw gamau ikut campur". Mottonya adalah yang bisa gw kerjain akan gw kerjain. Alhamdulillah, motto tersebut sejauh ini berjalan dalam kehidupan kami sehari-hari.

Sebagai contoh, jika istri gw kuliah dan belum sempat mencuci pakaian kotor, maka gw akan ambil alih kerjaan tersebut selagi gw punya waktu lengang lebih banyak daripada istri. Mencuci pakaian jelas satu paket dengan menjemur. Karena gw mencuci dan istri gw sedang di luar rumah, maka dia yang bertugas belanja bahan makanan untuk nantinya dimasak. Jika gw sedang bepergian keluar dan kebetulan dekat dengan supermarket, maka gw menawarkan diri untuk belanja makanan. Soal masak pun demikian. Siapa yang lagi lengang, dia yang masak. Dengan begini konsep gotong royong (saling mendukung) pelan-pelan biasa kami jalani. Lagian, kenapa sih cowok-cowok seperti alergi gitu mengerjakan pekerjaan rumah? Kok kaya tabu banget gitu cowok turun tangan dalam pekerjaan rumah tangga?

Tolong dipahami gw gak menggeneralisasi. Kalau gak ngerasa, gak usah tersinggung. Kalau merasa, jangan marah-marah. Lebih baik introspeksi diri.

Gw paham cowok kerja untuk menafkahi keluarga, waktunya habis di kantor. Tapi, ada sebuah konsep menarik yang disampaikan salah seorang ustadz kondang perihal nafkah. Beliau mengatakan bahwa nafkah yang utama adalah sandang, pangan, dan papan. Idealnya, setiap poinnya itu dibagi lagi menjadi 3 bagian. Misalkan, menafkahi istri dalam konteks pangan ada 3 bagian. Mulai dari belanja, memasak, bahkan sampai sini pun belum lengkap tanggung jawab seorang lelaki dalam konteks menafkahi pangan. Jika ingin lengkap, maka seorang suami harus menyuapi makanan yang tadi dimasaknya, baru tunai kewajiban menafkahi istri. Memang ini terkesan berlebihan. Makanya tadi gw bilang ini adalah kondisi ideal. Poin yang ingin gw sampaikan adalah istri itu udah kaya ratu. Dia harus dipenuhi kebutuhannya dengan cara yang terbaik. Maka menurut gw harus hati-hati membebankan semua pekerjaan rumah kepada istri, karena bisa jadi sebenarnya pekerjaan rumah tersebut adalah tanggung jawab suami. Tentu istri diperbolehkan untuk membantu pekerjaan rumah. Ingat, untuk membantu, tanggung jawabnya tetaplah di pihak suami. 

Pada akhirnya, komunikasi dan inisiatif menjadi saat penting dalam urusan pekerjaan rumah tangga. Selagi bisa, mudahkanlah beban istri, kerjakan yang lo bisa. Gw yakin tujuan lo yang menikah bukan untuk mencari asisten rumah tangga, tapi untuk mencari teman dalam mengarungi kehidupan. Dalam hal solidaritas bantuin temen mungkin lo udah khatam, bahkan lebih jago daripada gw. Yuk, coba solidaritas kepada teman ini digunakan juga dalam rumah tangga. Sejatinya istri adalah teman, bukan asisten rumah tangga. Iya, kan?

Jangan lupa simpen piring kotor di tempat cucian!

Sekian.

(Photo by Dan Gold on Unsplash)


Kamis, 02 Januari 2020

Tahun Baru, Tahun Sotoy!

17.14

(Disclaimer: Tidak bermaksud merendahkan seseorang atau golongan. Tidak juga menyepelekan suatu opini, apalagi merendahkan pelontarnya. Gw cuman pengen nawarin perspektif baru.)

Servus!

Selamat Tahun Baru bagi kalian yang baca blog ini, karena kalian udah bisa bertahan dan melewati tahun 2019. Semoga tahun ini bisa menjadi lebih baik dan membawa berkah untuk hidup kita semua.

Dahulu ketika masih bayi, kita jatuh berkali-kali saat belajar untuk jalan. Seringkali jatuh, kadang harus menahan sakit dan malu, ketika kita belajar untuk lari setelah bisa berjalan. Seharusnya kita kembali menerapkan prinsip itu saat kita menjalani kehidupan sebagai manusia dewasa. Dengan begitu kita bisa berkembang menjadi lebih baik lagi dan bisa berakhir memiliki banyak kemampuan. 

Prinsip ini perlahan coba gw program ke otak gw. Bersama istri gw, gw selalu mengulang-ulang kalimat yang kurang lebih berbunyi "Sotoy aja dulu! ntar lama-lama juga jago". Kami percaya bahwa semua orang yang kita pandang saat ini jago pada sebuah bidang, pernah berada di sebuah masa yang mereka sotoy banget. Gw beberapa kali menemukan konten di sebuah platform berbagi video di mana pembuat konten bereaksi terhadap video-video yang mereka buat di awal karir mereka. Kebanyakan dari mereka sedikit bingung, mengapa dulu mereka alay dan sotoy? Karena memang kita harus berproses dan meniti dari awal, di mana hasilnya pasti jelek. Emang hukum alam bahwa gak ada yang tiba-tiba langsung jago di sebuah hal.

Prinsip yang kami program berjalan paralel dengan praktik. Alhamdulillah, gw ada ketertarikan untuk jalan-jalan, begitupun istri gw. Ditambah lagi kami memiliki ketertarikan untuk mengabadikan sesuatu menggunakan media foto. Maka "proyek sotoy" pertama yang kami tekuni adalah fotografi. Alhasil, kami sering jalan-jalan tanpa tujuan berkeliling Kota Berlin untuk mencari angin dan juga mencari foto. 

Di era digital ada sebuah paradigma yang berkembang dan tagline-nya menurut gw sudah cukup dikenal, yaitu sharing is caring. Sebanding dengan semudah membalikkan telapak tangan, semudah itu juga lo bisa menemukan tutorial hampir untuk segala macem hal. Yang menarik adalah banyak yang berbagi ilmunya secara gratis. Jadi, hampir gak ada alesan untuk menunda belajar, kecuali lo emang gak tertarik pengen bisa sebuah hal dan lebih memilih untuk menjadi penikmat, bukan pencipta.

Beberapa hari kemarin gw dan istri beserta beberapa kawan lama dari Darmstadt jalan-jalan berkeliling Berlin. Sebuah permintaan spesifik dari salah seorang kawan membuat gw dan istri memutuskan untuk jalan ke daerah Hackescher Markt dan sekitar stasiun Warschauerstraße. Yang menarik adalah suasana urban langsung terasa ketika berkeliling di sekitar daerah tersebut. Dua tempat tersebut menurut gw dua dari banyak spot-spot di Berlin yang seolah mengafirmasi bahwa Berlin emang indah karena acak-acakan. Berprinsip sotoy membuat kami langsung mengeluarkan kamera dan mulai menjepret dan melatih mata supaya lebih "peka" untuk menangkap sebuah objek yang menarik. Tapi perlu dicatat, namanya seni itu abstrak. Artinya, silahkan lo eksplor gaya lo sendiri. 

"Kok hasilnya jelek?" jawab aja "Bodo Amat, kan gw sotoy!"

Kesimpulannya adalah kita bisa menjadi apapun di jaman sekarang. Tahun baru biasanya menjadi momentum untuk sejenak melihat ke belakang dan merefleksikan diri sekaligus menyusun dan berencana tentang apa yang akan dilakukan tahun 2020. Banyak kemudahan-kemudahan berbasis teknologi yang sebenernya menjadi keuntungan generasi ini, bila dibandingkan dengan jaman orang tua kita. Pilihannya tinggal apakah kita mau eksplor atau tidak?

Ngomong-ngomong gw mau sotoy dan membagikan beberapa hasil jepretan gw  di bawah ini.

Jangan lupa matiin kamera kalau sudah beres foto!

Sekian.




Credit

Logo by : Cup graphic by Madebyoliver from Flaticon is licensed under CC BY 3.0. Made with Logo Maker